Penelitianini berupaya untuk menganalisis "dampak etis moral dari kasus hamil dan melahirkan di luar pernikahan ditinjau dari perspektif Kristen." Analisis ini bertujuan untuk mencari penyebab dan jawaban yang berhubungan dengan beberapa pertanyaan, antara lain: Pertama , Mengapa kasus hamil dan melahirkan anak di luar pernikahan sering
HukumHamil di Luar Nikah Berdasar Syariat Islam dan Ketentuan Negara.
Pernikahanbagi Allah merupakan suatu ikatan yang suci dan kudus. Karena itu ayat alkitab tentang hamil di luar nikah diberikan Tuhan untuk seluruh umatNya. Namun sayangnya, di masa sekarang hal tersebut bukanlah suatu parameter yang menjadi tolok ukur keputusan seseorang memahami ayat alkitab tentang pernikahan kristen. Ada banyak kasus dimana seorang wanita memutuskan hamil di luar nikah.
Pengertianperkawinan di luar negeri diatur dalam pasal 56 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang menyatakan bah Menurut pandangan ajaran agama Kristen berdasarkan Keputusan seminar perkawinan antar agama di Universitas Katolik Atmajaya tanggal 21 Maret 1987, pada prinsipnya Gereja melarang perkawinan campur antar agama (KHK 1086 dan KHK 1124
HamilDiluar Nika. Ricky Fernando Manalu.015 Hamil diluar nika: Kajian pastoral terhadap pandangan HKBP tentang kehamilan di luar pernikahan dan relevansinya bagi kehidupan masa kini, dibimbing oleh Pdt. Dr. Yusuf G. Mangumban. Tulisan Ini dilatarbelakangi oleh beberapa pandangan warga gereja pada umumnya yang berpendapat HKBP begitu "Kejam
Itulahsekilas penjelasan tentang hukum hamil di luar nikah menurut Kristen. Sebagai anak Tuhan yang memahami pentingnya firman sebaiknya hal ini harus dihindari. Oleh sebab itu selalu hindari hal tersebut. Karena pada dasarnya Tuhan membenci jenis-jenis dosa dalam Alkitab. Sehingga yang paling tepat yaitu berupaya untuk menjauhi dosa tersebut.
Iamengemukakan, bahwa kristen melarang umatnya melakukan pemberkatan gereja bagi pasangan hamil di luar nikah. "Gereja tidak bisa melakukan pemberkatan bagi pasangan hamil di luar nikah," katanya. Sikap tersebut diambil karena yang bersangkutan dinilai telah melakukan tindakan yang menyimpang dari ajaran agama.
SecaraIslam, bagaimanakah hukum menikahi dan menikahkan wanita yang hamil di luar nikah? Menurut pimpinan Ma'had Syaraful Haramain, Bogor, KH Hafidz Abdurrahman, menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan. Pertama, wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. kedua, wanita tersebut bukan pasangannya atau hamil
Dalampandangan masyarakat maupun agama, hamil di luar nikah merupakan pelanggaran terhadap hukum. Misalnya dalam tradisi Kristen hamil di luar nikah dianggap bertentangan dengan hukum Taurat, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hukum ke-enam "jangan berzinah". Menurut pandangan yang ada di kalangan
Halini memang resiko yang harus diambil, sehingga memang tidak bisa terburu-buru untuk dapat diberkati di Gereja. Pada kenyataannya kehamilan diluar nikah ini merupakan hasil yang dilakukan dari orang0orang yang melakukan perjinahan dengan individu-individu yang dalam kehidupan aslinya, kehidupan rohani mereka tidak beres dan kepribadian yang belum mengerti dan kurang dewasa dalam bertindak dan tidak berfikir dahulu sebelum bertindak.
JbEnDi. Perbedaan aturan dalam Fikih dan Kompilasi Hukum Islam KHI dalam memutuskan perkara yang sama seringkali menimbulkan dualisme yang membuat masyarakat muslim harus memilih, mengingat fikih itu sudah menjadi aturan hukum yang hidup living law dalam kehidupan masyarakat muslim sejak lama dan telah menjadi pijakan utama dalam menyelesaikan permasalahan sosial, sedangkan KHI baru muncul di Indonesia pada tahun 1991 dan merupakan hasil ijtihad kolektif para ahli hukum Islam Indonesia berdasarkan kitab-kitab fikih dari para imam mazhab yang disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat muslim ini menunjukkan bahwa eksistensi KHI di masyarakat masih lemah dibandingkan dengan fikih disebabkan kurangnya sosialisasi KHI dan adanya perbedaan aturan dalam KHI dan fikih yang menimbulkan dualisme dalam permasalahan sosial, seperti kasus pernikahan wanita hamil di luar nikah dan akibat hukumnya yaitu persoalan nasab anak lahir dari perkawinan tersebut. Namun, dalam lingkungan Pengadilan Agama, KHI merupakan rujukan utama bagi Hakim untuk memutuskan perkara yang dihadapinya. Meskipun demikian, keputusan akhir diserahkan kepada pengambil keputusan untuk menggunakan aturan mana yang diyakininya dan membawa maslahat bagi masyarakat, karena fikih dan KHI adalah keduanya hasil ijtihad yang bersifat relatif atau tidak mutlak untuk diikuti, bahkan menurut Abdul Gani Abdullah, tidak menggunakan fikih atau KHI tidaklah berdosa, namun, meninggalkan masalah sosial di masyarakat tanpa solusi, itulah yang berdosa. Artikel ini sependapat dengan pandangan dari para pakar hukum Islam yang mengharapkan ada titik temu antara aturan dalam fikih dan KHI melalui evaluasi dan penyempurnaan KHI, sehingga KHI yang merupakan fikih Indonesia dapat diterapkan secara menyeluruh dan memberikan solusi atas masalah sosial yang Kunci Pernikahan Wanita Hamil, Fikih dan KHI Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 39 PERNIKAHAN WANITA YANG HAMIL DI LUAR NIKAH DAN AKIBAT HUKUMNYA Telaah Atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam Saiful Millah ipulmillah1974 Abstrak Perbedaan aturan dalam Fikih dan Kompilasi Hukum Islam KHI dalam memutuskan perkara yang sama seringkali menimbulkan dualisme yang membuat masyarakat muslim harus memilih, mengingat fikih itu sudah menjadi aturan hukum yang hidup living law dalam kehidupan masyarakat muslim sejak lama dan telah menjadi pijakan utama dalam menyelesaikan permasalahan sosial, sedangkan KHI baru muncul di Indonesia pada tahun 1991 dan merupakan hasil ijtihad kolektif para ahli hukum Islam Indonesia berdasarkan kitab-kitab fikih dari para imam mazhab yang disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Artikel ini menunjukkan bahwa eksistensi KHI di masyarakat masih lemah dibandingkan dengan fikih disebabkan kurangnya sosialisasi KHI dan adanya perbedaan aturan dalam KHI dan fikih yang menimbulkan dualisme dalam permasalahan sosial, seperti kasus pernikahan wanita hamil di luar nikah dan akibat hukumnya yaitu persoalan nasab anak lahir dari perkawinan tersebut. Namun, dalam lingkungan Pengadilan Agama, KHI merupakan rujukan utama bagi Hakim untuk memutuskan perkara yang dihadapinya. Meskipun demikian, keputusan akhir diserahkan kepada pengambil keputusan untuk menggunakan aturan mana yang diyakininya dan membawa maslahat bagi masyarakat, karena fikih dan KHI adalah keduanya hasil ijtihad yang bersifat relatif atau tidak mutlak untuk diikuti, bahkan menurut Abdul Gani Abdullah, tidak menggunakan fikih atau KHI tidaklah berdosa, namun, meninggalkan masalah sosial di masyarakat tanpa solusi, itulah yang berdosa. Artikel ini sependapat dengan pandangan dari para pakar hukum Islam yang mengharapkan ada titik temu antara aturan dalam fikih dan KHI melalui evaluasi dan penyempurnaan KHI, sehingga KHI yang merupakan fikih Indonesia dapat diterapkan secara menyeluruh dan memberikan solusi atas masalah sosial yang terjadi. Kata Kunci Pernikahan Wanita Hamil, Fikih dan KHI Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 40 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 A. Pendahuluan Hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia dapat dibagi dua, yaitu Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda di dalam masyarakat yang disebut dengan istilah mu‟amalah. Artinya, bagian dari hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti hukum perkawinan, hukum kewarisan dan wakaf. Bagian hukum ini memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya secara sempurna. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yaitu hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti kaidah hukum Islam tentang pelaksanaan ibadah-ibadah murni shalat, puasa, zakat dan lain-lain, juga tentang kesadaran manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berjudi, mencuri, berzina, dan lain-lain. Bagian hukum ini tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya. Dijalankan atau tidaknya hukum Islam yang bersifat normatif ini bergantung pada tingkatan iman dan taqwa serta akhlak umat Islam itu sendiri. Atau dengan kata lain, pelaksanaannya bergantung pada kuat atau lemahnya kesadaran masyarakat muslim mengenai norma-norma hukum yang bersifat normatif bentuk hukum Islam di atas didasarkan dari pemahaman terhadap hasil ijtihad yang dilahirkan oleh para imam mazhab Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i, dan Ahmad ibn Hanbal, khususnya mazhab Syafi‟i, yang ternyata pengaruhnya begitu besar dan banyak diterapkan dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin di Indonesia. Sudah menjadi maklum adanya bahwa di antara keempat mazhab tersebut terdapat kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan antara satu sama lainnya. Mohammad Daud Ali, “Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, ed., Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1 Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1991, 75. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 41 Hal ini dapat dipahami karena kesimpulan hukum yang dilahirkan oleh para imam mazhab itu adalah hasil dari ijtihad mereka yang murni dan penuh tanggung jawab Ilahiyah berdasarkan sumber-sumber hukum yang utama yaitu al-Qur‟an dan as-Sunnah, ditambah dengan ijma‟ sahabat, dan qiyas, yang mana jika terjadi perbedaan dalam memahami sumber-sumber hukum tersebut maka akan menyebabkan perbedaan pula dalam mengambil kesimpulan hukumnya. Pendapat para imam mazhab inilah yang seringkali diistilahkan dengan fikih mazhab, yang ternyata pengaruhnya masih sangat kuat di kalangan masyarakat muslimin Indonesia, sehingga ada sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa jika keluar dari ajaran mazhab-mazhab yang empat bahkan menyimpang dari ajaran salah satu imam empat tersebut, maka berakibat akan dikucilkan dari masyarakat. Hal ini mengakibatkan ketidakberanian dalam mengeluarkan pendapat dan mengembangkan akal pikiran sehingga umat jatuh dalam kejumudan ijtihad dan hanya bertaklid berhentinya ijtihad dan ketidakberanian mengeluarkan pendapat dalam merumuskan hukum-hukum ini menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat, apalagi zaman semakin berkembang, ditambah pula dengan perkembangan persoalan hukum Islam yang timbul di tengah masyarakat sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman, sementara jalan keluar untuk mengatasi persoalan yang timbul akibat berkembangnya kondisi zaman tadi tidak ditemukan secara spesifik dalam kitab-kitab fikih mazhab yang selama ini menjadi rujukan utama dalam memutuskan perkara di masyarakat. Akibatnya adalah terjadi perbedaan keputusan hukum pada satu perkara yang hampir sama atau bahkan pada perkara yang sama. Hal ini bahkan dapat dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang dianggap tidak sepaham, sehingga disaksikan bahwa masalah perbedaan pendapat fikih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi sebab perpecahan, bukan membawa rahmat akan tetapi mengundang laknat, demikian menurut KH. Hasan Siregar, “Hukum Islam Sebagai Institusi Keagamaan”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, ed., Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1 Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1991, 27. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Edisi pertama, cet. ke-5 Jakarta Akademika Pressindo, 2007, 21. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 42 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Perbedaan ini jelas ditimbulkan karena perbedaan dalam mengambil mazhab fikih sebagai sumber dalam menetapkan hukum, sehingga dapat melahirkan keputusan yang bersifat kontroversial serta akan membuka peluang untuk terjadinya pembangkangan dan keluhan dari pihak yang kalah dalam berperkara ketika dia mempertanyakan mazhab yang digunakan dalam keputusan seraya menunjukkan ketentuan yang berbeda dari mazhab yang lain, yang ternyata memberikan solusi yang berbeda dari hasil keputusan yang telah dengan perbedaan pengambilan mazhab dalam memutuskan perkara-perkara di tengah masyarakat tersebut, para pakar hukum Islam, di antaranya Ibrahim Hosen, Satria Effendi M. Zein, TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, Busthanul Arifin, Masrani Basran, dan lain-lain sepertinya gelisah melihat kondisi seperti ini dan khawatir akan terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin yang justru akan melemahkan posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional, sehingga mereka menghendaki adanya kesatuan sumber pendapat dalam mengambil keputusan untuk memecahkan permasalahan yang sering timbul pada zaman modern ini dan belum pernah ada pada masa terdahulu, untuk memperoleh kepastian hukum dan keseragaman dalam memutuskan perkara. Maka tidaklah heran kalau Hazairin menyatakan bahwa di Indonesia ini perlu mendirikan mazhab sendiri, mazhab Nasional dalam lapangan yang langsung mempunyai kepentingan kemasyarakatan dan selaras dengan jiwa rakyatnya yang kebetulan 90% adalah beragama Islam, artinya selaras dengan jiwa Islam. Istilah mazhab Nasional ini oleh beliau kemudian diperbaiki dengan istilah mazhab Indonesia. Muncul pula pendapat dari TM. Hasbi Ash-Shiddiqie dengan fikih Indonesia, Munawir Sjadzali dengan reaktualisasi ajaran Islam, dan Abdurrahman Wahid dengan pribumisasi Islam, yang semuanya menggagas ajaran Islam yang disesuaikan dengan kondisi negara Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. ke-4 Jakarta Prenadamedia Group, 2014, xiii. Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta Sinar Grafika, 2006, 112. Edi Gunawan, “Pembaruan Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam”, dalam Hunafa Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 1, Desember 2015, 286. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 43 Akhirnya para pakar di atas menggagas pemikiran untuk menciptakan satu aturan hukum Islam yang seragam dan dapat dijadikan pijakan hukum oleh para pengambil keputusan terhadap persoalan-persoalan perdata di kalangan masyarakat, maka lahirlah Kompilasi Hukum Islam yang merupakan intisari dari pendapat-pendapat para Imam mazhab dan telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat muslimin Indonesia. Usaha mengkompilasikan hukum Islam ini ditempuh dengan beberapa tahapan penting yang menunjukkan betapa seriusnya mereka menjalankan upaya ini, hingga mendapatkan respon positif dari pemerintah Orde Baru kala itu yang dibuktikan dengan dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun 1991 yang dapat pula dikatakan bahwa Inpres tersebut merupakan keputusan hukum dari penguasa yang semestinya menjadi pegangan dasar untuk menghilangkan perbedaan pendapat yang terjadi dalam masyarakat, sesuai dengan kaidah Artinya “Keputusan hakim dalam masalah ijtihad itu menghilangkan perbedaan pendapat” Kompilasi Hukum Islam ini merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab fikih yang ditulis oleh para ulama/imam mazhab fikih yang biasa digunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Kompilasi Hukum Islam ini diharapkan dapat menyatukan wawasan para hakim Peradilan Agama di Indonesia dalam memecahkan berbagai masalah yang dimajukan kepada mereka. Wasit Aulawi berharap agar Kompilasi Hukum Islam ini dapat 1 memenuhi asas manfaat dan keadilan yang berimbang yang terdapat dalam hukum Islam, 2 mengatasi berbagai masalah khilafiyah untuk menjamin kepastian hukum, dan 3 mampu menjadi bahan baku dan berperan aktif dalam pembinaan hukum al-„Abbas Ahmad bin Idris Shonhaji al-Qarafi, Al-Furuq Anwar al-Buruq fi Anwa‟i al-Furuq, Juz II, cet. ke-1 Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998, 179. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 14. Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam Hukum Islam I Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2 Jakarta Rajawali Pers, 1991, 268. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 44 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Namun yang amat disayangkan adalah bahwa sejak diinstruksikan pada tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam–yang diharapkan bisa dijadikan bahan rujukan utama bagi para hakim dan pihak yang bersengketa–dirasakan baru diterapkan di wilayah Pengadilan Agama saja dan belum diterapkan oleh instansi lain seperti KUA dan juga para tokoh agama/ulama di tengah masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan karena 1 kurangnya sosialisasi sehingga mereka masih merasa lebih aman menggunakan fikih mazhab, padahal KHI juga merupakan intisari dari fikih mazhab yang disesuaikan dengan kondisi ke-Indonesia-an; 2 atau juga KHI sudah diterapkan oleh mereka namun tidak secara menyeluruh, sehingga mengambil sebagian dan menolaknya sebagian, dimana keadaan ini dirasakan makin memperkuat dominasi fikih mazhab di kalangan para tokoh agama/ulama/kyai/ustadz yang mana mereka seringkali dimintai keputusannya dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat awam, 3 atau juga bahwa dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang sering terjadi di tengah masyarakat, KHI sudah memiliki aturannya namun masih dirasakan berbeda dengan keputusan dari para ulama di masyarakat yang bersumber dari fikih mazhab dalam memutuskan persoalan yang sama, apalagi kalau hasil keputusan para ulama tersebut sudah menjadi nilai yang dipegang erat living law oleh masyarakat. Di sinilah timbul kesan adanya dualisme antara menerapkan fikih mazhab ataukah KHI, sehingga terlihat adanya ketidakseragaman dalam mengambil aturan hukum pada satu permasalahan yang sama karena menggunakan istimbath hukum yang berbeda berdasarkan fikih mazhab tadi. Kenyataan di lapangan telah membuktikan seperti apa yang diteliti oleh Haima Najachatul Mukarromah bahwa di KUA Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri pernikahan seorang wanita dilakukan dengan menggunakan wali hakim karena anak wanita ini diidentifikasi lahir sebelum waktu 6 bulan dari pernikahan orang tuanya, yang menurut aturan dalam fikih mazhab anak itu dikategorikan bukan anak sah. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 45 Hal ini bertentangan dengan apa yang diatur dalam KHI tentang definisi anak sah yang cukup dibuktikan dengan adanya pernikahan yang sah tanpa membatasinya dengan waktu 6 bulan usia perkawinan tersebut. Haima sudah menyinggung adanya dualisme dalam penentuan wali nikah antara menggunakan aturan dalam fikih mazhab ataukah aturan dalam jelas lagi seperti apa yang diteliti oleh Afif Muammar tentang praktek yang dilakukan oleh KUA Sewon dan KUA Kotagede dalam menetapkan wali nikah bagi anak perempuan yang dilahirkan dari pernikahan hamil yang terdeteksi dilahirkan kurang dari 6 bulan setelah akad nikah orang tuanya, dimana ditemukan perbedaan dalam praktek pelaksanaanya. KUA Kotagede Yogyakarta menetapkan bahwa wali nikah bagi anak perempuan tersebut adalah ayah biologisnya berdasarkan Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 huruf „a‟. Sedangkan pada KUA Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul, wali nikah bagi anak perempuan tersebut ditetapkan dengan Wali Hakim berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim dan Surat Edaran Departemen Agama Nomor D/ED/ tentang petunjuk pengisian formulir NTCR yang menjadikan waktu tenggang 6 bulan sebagai dasar penentuan hubungan nasab, yang juga sesuai dengan ketentuan dalam fikih mazhab. Permasalahan yang diteliti oleh Afif baru pada dua KUA saja tetapi sudah terlihat adanya dualisme tersebut, dan tidak menutup kemungkinan bahwa dualisme ini juga banyak terjadi pada KUA yang diambil oleh KUA Selogiri dan KUA Sewon di atas sesuai dengan nash yaitu sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Haima Najachatul Mukarromah, “Proses Pelaksanaan Perwalian Anak Luar Nikah berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif di KUA Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri”, Tesis, Yogyakarta Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga, 2015. Afif Muamar, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Wali Hakim Bagi Anak Perempuan yang Lahir Dari Perkawinan Hamil Studi Komparasi di KUA Sewon dan KUA Kotagede”, Skripsi, Yogyakarta Fakultas Syari‟ah Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah UIN Sunan Kalijaga, 2009. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 46 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Artinya “Telah berkata kepadaku Muhammad ibnu Rafi‟ dan Abdu ibnu Humaid, telah berkata Ibnu Rafi‟ telah berkata kepada kami Abdu ar-Razzaq telah mengabarkan kepada kami Ma‟mar, dari az-Zuhri, dari Ibnu al-Musayyab dan Abi Salamah, dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda “Anak itu bagi yang meniduri isteri secara sah yaitu suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak mendapatkan batu”. HR. Muslim dari Abu Hurairah. Di sisi lain, ada juga kaidah fikih yang mengatakan bahwa jika keputusan penguasa itu menyalahi nash, maka wajib ditolak. Kaidah tersebut berbunyi Artinya “Keputusan hakim penguasa itu dibatalkan jika bertentangan dengan nash, atau ijma‟, atau qiyas jali” Dalam penjelasan kaidah ini dinyatakan bahwa keputusan hakim penguasa tersebut dibatalkan karena jelas terdapat kesalahan di dalamnya. Dari sini, jelaslah bahwa dalam beberapa hal, aturan KHI tidak digunakan oleh para pengambil keputusan di masyarakat dikarenakan adanya pertentangan terhadap nash, sehingga aturan dalam KHI tersebut sebagian dipergunakan dan sebagian lagi ditinggalkan dan hal ini berpengaruh pada eksistensi KHI di tengah masyarakat, sehingga timbullah dualisme dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata di masyarakat. B. Sekilas Tentang Fikih dan Kompilasi Hukum Islam Definisi tentang fikih secara istilah yang secara umum dikenal dan dipilih oleh ulama adalah definisi yang diberikan oleh Imam Syafi‟i, yaitu Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim Riyadh Bayt al-Afkar ad-Dauliyyah, 1998, Kitab ar-Radha‟, Hadis No. 1458-37, 581. Lihat, Abu Abdillah Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Riyadh Bayt al- Afkar ad-Dauliyyah, 1998, Kitab al-Hudud, Hadis No. 6818, 1299. Jalsluddin as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha‟ir fi Qawa‟id wa Furu‟i Fiqh asy-Syafi‟iyyah Cairo Dar al-Hadis, 2013, 216. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 47 Artinya “Pengetahuan tentang hukum syara‟ yang berhubungan dengan perilaku amal perbuatan manusia yang mana ilmu itu digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”. Artinya “Kumpulan hukum syara‟ yang berhubungan dengan perilaku amal perbuatan manusia dimana kumpulan hukum-hukum itu dihasilkan dari dalil-dalilnya secara terperinci”. Istilah fikih yang dikemukakan di atas merupakan pengertian fikih yang diberikan oleh ulama ushul fikih yang intinya adalah bahwa fikih itu merupakan hasil ijtihad dengan mengerahkan semua pengetahuan untuk melahirkan hukum syara‟ tentang perbuatan istilah fikih yang dikemukakan oleh ulama fikih dapat diartikan dengan dua makna Pertama, hafalan terhadap hukum-hukum syara‟ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, dimana ketentuan hukum tersebut sudah tercantum dalam al-Qur‟an, as-Sunnah, ijma‟ ulama, atau yang telah disimpulkan dengan metode qiyas, atau Wahbah Az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I, Damaskus Dar el-Fikr, 1986, 19, lihat „Abd. Wahhab Khallaf,„Ilmu Ushul al-Fiqh, Cairo Da‟wah Islamiyah Syabab al-Azhar, 1956, 11. Definisi yang serupa juga diberikan oleh Tajuddin as-Subki, Jam‟u al- Jawami‟ fi Ushul al-Fiqh Beirut Dar al-Kotob al-„Ilmiyah, 2013, 13, Abu Yahya Zakariya bin Zakariya al-Anshari, Fathu al-Wahhab bi Syarhi Minhaju ath-Thullab, Cairo Maktabah asy-Syuruq ad-Dawliyah, 2013, 20, Abu Bakar „Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Hasyiyah I‟anatu ath-Thalibin, Jilid I, Beirut Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2014, 24. Wahbah Az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, 19, lihat Abd. Wahhab Khallaf,„Ilmu Ushul al-Fiqh, 11. Mahmud Isma‟il Muhammad Musy‟al, Atsaru al-Khilaf al-Fiqhiy fi al-Qawa‟id al-Mukhtalaf Fiha, Cairo Dar as-Salam, 2009, 41. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 48 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 juga dengan dalil lainnya yang menunjukkan kepada hukum tersebut, baik dihafal dengan mengetahui dan memahami dalil-dalilnya ataupun tidak. Dalam pengertian ini, seorang fakih tidaklah harus seorang mujtahid, seperti dalam pandangan ulama ushul fikih, tetapi untuk dapat dikatakan sebagai seorang fakih saat ini seseorang haruslah mengetahui hukum-hukum tentang perbuatan mukallaf beserta sumber-sumbernya yang tersebar di berbagai kitab fikih agar dapat memudahkan baginya untuk kembali merujuk kepada sumber aslinya tersebut, Kedua, kumpulan hukum-hukum dan masalah-masalah syara‟ yang berkaitan dengan perbuatan fikih yang kedua inilah yang dimaksud dalam tulisan ini. Definisi lain yang lebih mudah memberikan pemahaman tentang ilmu fikih adalah definisi yang diberikan oleh Mohammad Daud Ali yaitu ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat di dalam nash al-Qur‟an dan as-Sunnah, atau juga ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat dalam nash al-Qur‟an dan as-Sunnah untuk diterapkan pada perbuatan manusia mukallaf, dimana hasil dari pemahaman tersebut disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fikih dan disebut dengan hukum “Kompilasi” diartikan dengan sebuah kumpulan dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik sehingga pantas kalau dianggap sebagai pendapat yang pengertian ini, jika ditinjau dari sisi aktifitas, dapatlah dikatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam KHI adalah kegiatan untuk mengumpulkan bahan aturan-aturan/tulisan-tulisan dalam hukum Islam terkait dengan beberapa Dalil lain yang dimaksud adalah Istihsan, Mashlahat al-Mursalah, Istish-hab, „Urf, Syar‟un man Qablana, dan Qaul Shahabi. Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu‟un al-Islamiyyah, Al-Mawsu‟ah al-Fiqhiyyah Juz I, Kuwait 1404 H / 1983 M, 14. Mahmud Isma‟il Muhammad Musy‟al, Atsaru al-Khilaf al-Fiqhiy fi al-Qawa‟id al-Mukhtalaf Fiha, 41. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, edisi ketiga, cet. ke-3 Jakarta RajaGrafindo Persada, 1993, 43-44. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 87. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 49 permasalahan, dimana hasil dari kompilasi tersebut dapatlah dijadikan sebagai pedoman dalam bidang hukum materil bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, dan jika ditinjau dari sisi produk hukum, KHI adalah himpunan ketentuan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara fungsional, KHI adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia–sebagaimana yang pernah dicetuskan oleh Hazairin dan Hasbi ash-Shiddieqi–sebelumnya bercorak fikih lokal seperti fikih Hijazy yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan „urf yang berlaku di Hijaz, fikih Mishry yang lahir berdasarkan kebiasaan penduduk Mesir, fikih Hindy yang juga Bahan baku penyusunan KHI adalah pendapat para ulama mazhab fikih yang tertulis dalam 13 kitab yang dijadikan pedoman bagi para hakim di Pengadilan Agama berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah di luar Jawa dan Madura. Namun dalam pelaksanaan proyek penyusunan KHI berdasarkan SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985, dalam lampirannya menugaskan kepada tim penyusun KHI untuk meneliti 38 kitab-kitab fikih dari para ulama lintas mazhab dan bahkan dari aliran pembaharu seperti Ibnu Taimiyah. Kitab-kitab tersebut adalah Al-Bayjuri, Fathu al-Mu‟in, Syarqawi „ala at-Tahrir, Mughni al-Muhtaj, Nihayat al-Muhtaj, Asy-Syarqawi, I‟anah at-Thalibin, Tuhfah al-Muhtaj, Targhib al-Musytaq, Bulghat as-Salik, Syamsuri fil Fara‟idh, Al-Mudawwanah, Qalyubi/Mahalli, Fathu al-Wahhab dengan syarahnya, Bidayatu al-Mujtahid, Al-Umm, Bughyatu al-Mustarsyidin, Al-Islam „Aqidah wa Syari‟ah, Al-Muhalla, Al-Wajiz, Fathu al-Qadir, Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Fiqhu as-Sunnah, Kasyf al-Qina‟, Majmu‟ Fatawa Ibn Taimiyyah, Qawanin as-Syari‟ah li Sayyid Utsman bin Yahya, Al-Mughni, Al-Hidayah syarah Bidayah al-Mubtadi‟, Qawanin as-Syari‟ah li Sayyid Shadaqah Dahlan, Nawab al-Jalil, Syarah Ibnu „Abidin, Al-Muwaththa‟, Hasyiyah Syamsudin Moh. Irfat Dasuki, Bada‟i‟ Shana‟i‟, Tabyin al-Haqa‟iq, Al-Fatawil al-Hindiyyah, Nihayatu az-Zain, Fathu al-Qadir, Lihat Tim Penyusun Ditjen. Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Edisi 2004, 614-615. Lihat Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 39-41. A. Hamid S. Attamimi, “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., cet. ke-1 Jakarta Gema Insani Press, 1996, 152. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 50 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 terbentuk berdasarkan adat istiadat yang berlaku di Indiadan lain-lain yang sangat memperhatikan kondisi dan kebutuhan serta kesadaran hukum dari umat Islam setempat pada saat fikih tersebut dirumuskan. Tetapi semua itu bukan merupakan mazhab baru dalam fikih yang dapat disejajarkan dengan empat mazhab fikih besar lainnya Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali, hanya saja fikih-fikih yang sifatnya lokal tersebut diharapkan dapat mempersatukan berbagai mazhab fikih untuk menjawab satu persoalan fikih yang ternyata menimbulkan perbedaan dalam kita mencermati proses lahirnya KHI ini, amatlah jelas bahwa usaha mengkompilasikan hukum Islam ini adalah usaha yang maksimal dari para alim ulama dan pakar hukum Islam dari seluruh Indonesia serta mendapat dukungan positif dari pemerintah Orde Baru dan ormas Islam saat itu. Bisa dilihat bahwa proses penyusunannya bukanlah sesuatu yang mudah dan asal-asalan, buktinya adalah bahwa penyusunan KHI ini melalui beberapa tahapan yang sangat hati-hati sekali, dalam rangka melahirkan satu aturan yang sesuai dengan budaya dan kultur bangsa Indonesia, sehingga pantaslah kalau KHI ini dianggap sebagai fikih mazhab Indonesia karena merupakan hasil konsensus ijma‟ dari para ulama lintas mazhab di Indonesia yang memiliki kredibilitas dalam bidangnya masing-masing melalui lokakarya nasional yang kemudian mendapatkan legalisasi dari kekuasaan negara melalui Instruksi memahami uraian singkat tentang Fikih dan KHI di atas, maka dapatlah diuraikan sisi persamaan dan perbedaan antara keduanya. Persamaannya adalah 1. Fikih dan KHI merupakan hasil pendapat dan pemikiran manusia melalui lembaga ijtihad, sifatnya zhanni, memiliki kemungkinan benar ataupun salah, dinamis dan masih bisa berkembang sesuai situasi atau kondisinya. Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. ke-1 Jakarta RajaGrafindo Persada, 1995, 20-21. Tim Penyusun Ditjen. Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Edisi 2004, 601. Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. ke-1 Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999, 8. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 51 2. Fikih dan KHI termasuk aturan hukum yang sifatnya fakultatif dalam artian tidak mengikat dan tidak memaksa, berbeda dengan syariah yang sifatnya imperatif yaitu mengikat dan wajib untuk diikuti. 3. Fikih dan KHI memiliki sumber hukum utama yaitu al-Qur‟an dan as-Sunnah. 4. Fikih dan KHI mengatur bidang mu‟amalah yang selalu berkaitan dengan dinamika perkembangan di masyarakat. Sedangkan perbedaannya adalah 1. Fikih mazhab adalah hasil dari proses ijtihad yang sifatnya fardi ijtihad perorangan secara muthlaq mandiri dan independen, sedangkan KHI adalah hasil dari proses ijtihad secara jama‟i ijtihad kolektif yang merangkum dari beberapa mazhab fikih. 2. Fikih Mazhab bercorak masyarakat muslim di wilayah Timur Tengah, sedangkan KHI bercorak ke Indonesiaan. 3. Fikih Mazhab disusun pada awal abad ke-II Hijriyah sehingga pengaruh budaya masyarakat saat itu juga terakomodir, sedangkan KHI disusun di abad modern yang sudah berkembang sangat jauh dibandingkan masa-masa sebelumnya. 4. Para imam mazhab secara pribadi menolak jika mazhab fikihnya dijadikan mazhab resmi bagi pemerintah, walaupun pada akhirnya oleh para muridnya disebarluaskan dan menjadi mazhab pemerintah juga, sedangkan KHI adalah produk pemerintah melalui Instruksi Presiden sehingga bisa dikatakan sebagai mazhab resmi pemerintah Indonesia. 5. Fikih Mazhab dijadikan sebagai rujukan utama dalam bidang fikih bagi seluruh masyarakat muslim secara luas di seluruh dunia, sedangkan KHI sudah menjadi fikih Indonesia melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 yang memiliki legalitas formal hanya bagi masyarakat muslim Indonesia saja. C. Pandangan Fikih dan Kompilasi Hukum Islam dalam Perkara Pernikahan Wanita Yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Istilah “pernikahan wanita yang hamil di luar nikah” maksudnya adalah akad nikah yang dilakukan oleh seorang wanita pada saat ia sedang dalam keadaan hamil mengandung janin dalam perutnya sebagai akibat dari telah terjadinya hubungan kelamin antara dirinya dengan seorang lelaki, dimana Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 52 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 hubungan kelamin tersebut dilakukan di luar ikatan akad nikah, baik dengan cara zina ataupun diperkosa. Kasus seperti ini sekarang banyak terjadi sebagai akibat dari pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan atau juga karena kisah cinta antara dua sejoli tidak direstui oleh orang tua sehingga keduanya nekad melakukan hubungan kelamin supaya nanti kalau sudah hamil mau tidak mau hubungan cinta mereka akan direstui juga oleh keluarga, atau juga terjadi karena seorang wanita sudah terlanjur hamil sebagai akibat dari perkosaan atau juga akibat lelaki yang menghamilinya kabur tanpa mau bertanggung jawab. Kemudian karena kehamilan semakin membesar maka dicarilah seorang laki-laki lain yang bersedia menikahi wanita tersebut, tujuannya supaya menutup aib karena telah terjadinya kehamilan dan juga agar si bayi yang dalam kandungan mempunyai ayah pada saat ia dilahirkan; serta berbagai alasan lainnya yang bisa menjadi latar belakang terjadinya kasus ini. 1 Pandangan Fikih Ulama fikih empat mazhab berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya menikahi wanita yang telah hamil di luar nikah. Perbedaan pendapat mereka dapat diuraikan sebagai berikut a Ulama Hanafiyah Berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina apabila yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya menzinainya. Alasannya adalah bahwa wanita hamil akibat zina itu tidak termasuk ke dalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang terdapat dalam QS. an-Nisa‟ ayat 22-24 tentang siapa saja wanita-wanita yang haram dinikahi. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 53 Maka setelah terjadinya pernikahan tersebut, apapun boleh dilakukan oleh keduanya layaknya sepasang suami tetapi, bila yang menikahinya adalah bukan lelaki yang menghamilinya dengan cara zina, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafiyah, yaitu Pertama, Abu Hanifah dan Muhammad asy-Syaibani berpendapat bahwa hukum menikahinya adalah sah, hanya saja wanita itu tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan “sah” nya untuk dinikahi adalah karena wanita tersebut bukan termasuk wanita yang haram dinikahi, seperti alasan pembolehan nikah bagi sesama pezina, dan alasan mengapa “tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan” adalah karena benih air sperma yang dihasilkan dari perzinaan itu tidak memiliki nilai kehormatan dibandingkan dengan benih yang dikeluarkan dari persetubuhan yang dilakukan dalam ikatan perkawinan yang sah. Sehingga benih hasil perzinaan tersebut tidak dapat menyebabkan adanya hubungan nasab, maka tidaklah pantas Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, cet. ke-2 Damaskus Dâr al-Fikr, 1985, 149. Lihat, Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, Jakarta Gema Insani, 2002, 34. „Ala„u ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Bada‟i‟u ash-Shana‟i‟ fi Tartib asy-Syara‟i‟, Juz III, cet. ke-2 Beirut Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 2003, 453. „Ala„u ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Bada‟i‟u ash-Shana‟i‟ fi Tartib asy-Syara‟i‟, Juz III, 453, Husain bin Muhammad al-Mahalli as-Syafi‟i, Al-Ifshah „an „Aqdi an-Nikah „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, cet. ke-1 Syiria Dar al-Qalam al-„Arabi, 1995, 101. Dalilnya disebutkan dalam riwayat Imam Al-Bukhari “Telah berkata kepada kami Adam, telah berkata kepada kami Syu‟bah, telah berkata kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata „Aku mendengar Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda “Anak itu bagi yang meniduri isteri secara sah yaitu suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak mendapatkan batu”. Lihat Abu „Abdillah Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 54 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 benih yang „tidak terhomat‟ itu bercampur dengan benih yang „terhormat‟.Namun demikian, adanya benih zina dengan sifatnya yang „tidak terhormat‟ tadi, tetap tidak dapat menghalangi kebolehan menikahkan wanita hamil akibat zina tersebut dengan lelaki yang bukan menghamilinya. Kedua, Abu Yusuf dan Zufar berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina oleh lelaki yang bukan menghamilinya karena keadaan wanita “hamil” itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan sampai melahirkan, dengan demikian terlarang pula akad nikah antara seorang lelaki dengan wanita hamil tidak sah hukumnya menikahi wanita hamil yang bukan karena zina–yaitu karena pernikahan yang sah dengan suaminya yang terdahulu–maka tidak sah pula menikahi wanita hamil akibat demikian, menurut pendapat ini, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina hanya oleh lelaki yang menghamilinya dengan cara zina. b Ulama Malikiyah Berpendapat bahwa hukumnya diharamkan menikahi wanita pezina dalam keadaan hamil sampai wanita tersebut terbebas atau bersih istibra‟ dari akibat zina yaitu sampai Kitab al-Hudud, Hadis No. 6818, 1299, lihat Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjsj, Shahih Muslim, Kitab ar-Radha‟, Hadis No. 1458-37, 581. Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, cet. ke-4 Beirut Dar al-Fikr, 1983, 88. Dalilnya sesuai dengan hadis riwayat Abu Dawud, dari Ruwayfi‟ bin Tsabit al-Anshari yang menceritakan tentang seseorang yang berkhutbah bahwa dia mendengar Nabi Saw bersabda pada hari Hunain “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain”. Lihat, Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Riyadh Al-Ma‟arif, 1424 H, Bab Fi Wath-i as-Sabaya Menyetubuhi Budak, Hadis No. 2158, 374. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 149. QS. ath-Thalaq [65] ayat 4 “...dan perempuan-perempuan yang hamil. Waktu „iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...”. Lihat, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Madinah Pencetakan Al-Qu‟ran Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd, 1412 H, 946. „Ala„u ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Bada‟i‟u ash-Shana‟i‟ fi Tartib asy-Syara‟i‟, Juz III, 453. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 150. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 55 melahirkan anaknya, baik atas dasar suka sama suka, ataupun diperkosa, meskipun yang menikahinya itu adalah lelaki yang menghamilinya, apalagi bila ia bukan yang menghamilinya; dan apabila wanita tersebut tidak hamil maka istibra‟-nya adalah dengan tiga kali masa haid atau setelah berlalunya tiga bulan. Sebab larangan ini adalah karena adanya hadits dari Nabi Saw riwayat Abu Dawud seperti yang digunakan oleh Abu Hanifah yaitu “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain”, dan kekhawatiran akan tercampurnya nasab anak yang ada dalam kandungan. Apabila akad nikah tetap dilangsungkan sementara si wanita berada dalam keadaan hamil, maka akad nikahnya itu fasid rusak dan wajib untuk difasakh dibatalkan.c Ulama Syafi‟iyah Berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu adalah lelaki yang menghamilinya ataupun bukan yang menghamilinya. Alasannya adalah karena wanita yang hamil akibat zina itu tidak htermasuk golongan wanita yang haram untuk juga berpendapat, karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya adalah sah, maka wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil, meskipun satu pendapat dari kalangan Syafi‟iyah Ini adalah pendapat Ibn al-Qasim dari ulama Malikiyah. Lihat, Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi, Adz-Dzakhirah, Juz IV, cet. ke-1, Beirut Dar al-Gharbi al-Islami, 1994, 195. Lihat, Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Bab Fi Wath-i as-Sabaya Menyetubuhi Budak, Hadis No. 2158, 374. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 150. Lihat, Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, 36-37. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 150. Lihat, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuz Abadi al-Syirazi, Al-Muhadzdzab fî Fiqh al-Imam asy-Syafi‟i, Juz II, cet. ke-1 Beirut Dar al Kutub al-„Ilmiyyah, 1995, 440. Pendapat ulama Syafi‟iyah mengatakan artinya “Dan dihalalkan menikah dengan wanita hamil karena zina dan menyetubuhinya dalam keadaan hamil, demikian menurut pendapat yang paling benar”. Lihat, „Abdu ar-Rahman Al-Jaziri, Kitsbu al-Fiqh „als al-Mazshib al-Arba‟ah, Juz IV Beirut Dar al-Fikr, Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 56 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 mengatakan bahwa menyetubuhinya pada saat hamil itu hukumnya Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah bagi seorang lelaki menikahi wanita yang diketahuinya telah berbuat zina, baik dengan lelaki yang bukan menzinainya terlebih lagi dengan lelaki yang menzinainya, kecuali si wanita memenuhi dua syarat yaitu Pertama, telah selesai masa „iddah-nya masa tunggu yaitu setelah melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilaksanakan saat si wanita masih dalam keadaan hamil, maka akad nikah tersebut hukumnya tidak sah. Pendapat ini sama dengan pendapatnya Imam Malik. Dalilnya adalah hadits Abu Dawud dari Ruwayfi‟ bin Tsabit al-Anshari yang menceritakan tentang seseorang yang berkhutbah dimana dia mendengar Nabi Saw bersabda pada hari Hunain “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain” HR. Abu Dawud.2011, 403. Dikatakan pula Catatan “Dibolehkan menikahi dan menyetubuhi wanita hamil karena zina, karena tiada larangan dalam melakukan pernikahan dan persetubuhan dengan wanita itu”. Lihat, Syamsu ad-Din Muhammad bin Khatib Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz III, cet. ke-1 Beirut Dâr al-Ma‟rifah, 1997, 510. Disebutkan dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin artinya “Dibolehkan menikahi wanita hamil karena zina, baik oleh lelaki yang menzinainya atau bukan, dan boleh pula menyetubuhinya pada saat hamil itu tapi sifatnya makruh”. Lihat, „Abdu ar-Rahman bin Muhammad bin Husain bin „Umar Ba‟alawi, Bughyat al-Mustarsyidin, cet. ke-5 Beirut Dâr al Kutub al-„Ilmiyah, 2016, 249. Abu Muhammad bin „Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Hanbali, Al-Mughni, Juz IX, cet. ke-3 Riyadh Dâr „Alam al-Kutub, 1997, 561-563. Lihat, Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 150, „Abdullâh al-„Abadi, Syarh Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, cet. ke-1 Cairo Dâr as-Salam, 1995, 1320. Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Hadis No. 2158, 374. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 57 Juga hadis dari Abi Sa‟id secara marfu‟ bahwa Nabi Saw bersabda tentang tawanan wanita Authas “Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya satu kali” HR. Abu Dawud.Kedua, telah bertaubat dari perbuatan zinanya, karena selama ia belum bertaubat maka masih dihukumi sebagai pezina, tetapi manakala telah bertaubat, maka hilanglah status pezinanya. Kesimpulannya, dalam persoalan boleh atau tidaknya menikahi wanita yang sedang hamil karena zina ini ulama fikih empat mazhab terbagi kepada dua kelompok Pertama, sebagian ulama Hanafiyah kecuali Abu Yusuf dan Syafi‟iyah membolehkan menikahi wanita yang telah hamil di luar akad nikah tersebut tanpa harus menunggu kelahiran jabang bayi. Kedua, ulama Malikiyah dan Hanabilah melarangnya kecuali setelah melahirkan si jabang bayi. Persoalan pernikahan seorang wanita yang hamil karena zina di atas dapat mengakibatkan permasalahan baru dalam hal status anak yang ada dalam kandungan si wanita tersebut. Kepada siapakah anak tersebut dihubungkan nasab nya ? Apakah kepada lelaki yang menghamili si wanita tadi kemudian menikahinya ? Ataukah bahkan kepada lelaki lain yang menikahinya meskipun bukan dia yang menghamilinya ? Para ulama fikih empat mazhab berbeda pendapat dalam hal penentuan nasab bagi anak yang dilahirkan dari wanita yang menikah dalam keadaan hamil sebelum akad nikah karena zina. Perbedaan pendapat di antara mereka dapat diuraikan sebagai berikut Ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa akad nikah yang dilakukan oleh wanita yang sedang hamil karena zina adalah sah, sehingga bila anak yang dilahirkan itu telah melewati masa enam bulan sejak terjadinya akad nikah ibunya, maka ia bisa dihubungkan nasabnya kepada suami dari ibunya. Tetapi bila kelahirannya kurang dari enam bulan dari waktu akad nikah, maka tidak bisa dihubungkan nasabnya kepada Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Hadis No. 2157, 374. Dalilnya QS. An-Nur [24] ayat 5“...kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Lihat Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 544. Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, 88. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 58 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 suami dari ibunya, melainkan dihubungkan nasabnya hanya kepada ibunya. Konsekuensinya adalah terputusnya hak keperdataan antara si anak dan suami ibunya, sehingga tidak ada hubungan perwalian jika si anak tersebut berjenis kelamin perempuan dan nantinya akan menikah, maka yang menjadi wali nikahnya adalah wali hakim; disamping itu juga tidak ada hak saling mewarisi antara si anak dengan suami ibunya tersebut. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad nikah yang dilakukan oleh wanita yang sedang hamil karena zina adalah tidak sah, sehingga tidak ada hubungan nasab antara anak yang dilahirkan dari hubungan zina itu dengan suami ibunya, nasabnya hanya bisa dihubungan kepada ibunya. Konsekuensinya sama seperti yang terjadi pada pendapat Hanafiyah dan Syafi‟iyah di atas. Dari kedua kelompok ini dapatlah kita simpulkan bahwa hanya ulama kalangan Hanafiyah dan Syafi‟iyah saja yang mengakui adanya hubungan nasab bagi anak yang dilahirkan dari wanita yang menikah dalam keadaan hamil di luar akad nikah, tentunya hubungan nasab tersebut adalah dengan lelaki yang menzinai ibunya si anak, dengan syarat apabila kelahirannya telah melewati masa enam bulan sejak akad nikah orang tuanya. 2 Pandangan Kompilasi Hukum Islam KHI KHI berpendapat bahwa hukumnya adalah sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya. Namun, apabila yang menikahi wanita tersebut adalah bukan lelaki yang menghamilinya maka hukumnya tidak ini tercantum dalam bab VIII tentang kawin hamil pasal 53 KHI yang berbunyi 1 Seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya; 2 Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya; 3 Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan ulang setelah anak yang dikandung itu KHI pasal 53 ayat 1 ini sejalan dengan pendapat Abu Yusuf dan Zufar dari Ulama Hanafiyah, yang berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina hanya dapat Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 149. Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, 40. Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam Bandung Humaniora Utama Press, 1991, 32. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 59 dinikahkan dengan lelaki yang menghamilinya, tetapi tidak boleh dengan lelaki yang bukan menghamilinya. Pada pasal 53 ayat 2 disebutkan bahwa pernikahan dengan wanita hamil dapat dilakukan tanpa harus menunggu dahulu kelahiran anak yang ada dalam kandungan itu. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ulama dari kalangan Hanafiyah dan Syafi‟iyah yang membolehkan pernikahan dengan wanita hamil karena zina tanpa harus menunggu kelahiran, berbeda dengan pendapat dari Ulama Malikiyah dan Hanabilah yang tidak membolehkan pernikahan tersebut dilaksanakan sebelum kelahiran anak yang ada dalam kandungan. Mengenai nasab anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut, KHI berpendapat bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, walaupun akad nikahnya dilaksanakan dalam keadaan si wanita sedang hamil di luar nikah baik karena zina ataupun diperkosa asalkan lelaki yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya. Ketentuan ini berdasarkan kesepakatan para ulama fikih bahwa nasab seorang anak itu dapat terbentuk dan dihubungkan dengan ayahnya melalui akad nikah yang sah, dimana akad nikah yang sah itu menjadi satu-satunya indikator sehingga perkawinan itu dianggap perkawinan yang sah. Dalam perkawinan yang sah, para ulama sepakat bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah dapat dinasabkan kepada suami si wanita tersebut. Jika perkawinan dianggap sah maka semua yang terjadi dan dihasilkan dari perkawinan tersebut adalah sah, termasuk anak yang dilahirkan sebagai hasil dari akad nikah yang sah tadi. Ketentuan tentang anak sah ini tercantum dalam KHI pasal 99 dimana disebutkan bahwa “Anak yang sah adalah a anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, b hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”.Kesimpulannya, KHI Abu „Abdillah Muhammad bin „Abdi ar-Rahman ad-Dimasyqi al-„Utsmani asy-Syafi‟i, Rahmatu al-Ummah fi Ikhtilafi al-A‟immah Maktabah al-Taufiqiyah, 197, Abu al-Mawahib „Abdu al-Wahhab bin Ahmad bin „Ali al-Anshari asy-Sya‟rani, Al-Mizan al-Kubra, Juz II Beirut Dâr al-Fikr, 113, Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, 88. Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, cet. ke-3 Cairo Dar al-Fikr al-„Arabi, 1957, 387. Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, 46. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 60 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 berpendapat bahwa wanita hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran si bayi, dan tidak diperlukan kawin ulang tajdidun nikah, sehingga apabila perkawinan tersebut dinyatakan sah, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah tadi adalah anak sah. Ketentuan KHI inilah yang menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para pemerhati hukum Islam, sehingga persoalan ini tetap menarik untuk terus dikaji ulang. D. Analisis Terhadap Perbedaan Pandangan Fikih dan Kompilasi Hukum Islam KHI 1 Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah Perbedaan antara Fikih dan KHI dalam perkara pernikahan wanita yang hamil di luar nikah ini terletak pada boleh atau tidaknya wanita yang hamil di luar nikah itu dikawinkan dengan lelaki yang bukan menghamilinya, karena jika wanita tersebut dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya, maka tidak ada perbedaan pendapat antara Fikih dan KHI. Fikih mazhab Hanafiyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahkan wanita yang hamil di luar nikah dengan lelaki yang bukan menghamilinya. Alasannya adalah bahwa wanita tersebut bukanlah termasuk wanita yang diharamkan untuk dinikahi, sehingga sesuatu yang haram yaitu zina tidak dapat mengharamkan yang halal yaitu pernikahan, juga karena wanita itu termasuk perempuan yang tidak bersuami tidak sedang memiliki ikatan pernikahan dengan lelaki sebagai suaminya. Selain itu, benih yang dihasilkan melalui hubungan zina itu tidak memiliki nilai kehormatan, sehingga tidak memiliki pengaruh apa-apa manakala bercampur dengan benih lainnya. Dampak atau akibat dari pendapat fikih ini adalah bahwa jika seorang wanita yang sudah hamil di luar nikah ingin dinikahkan tetapi lelaki yang menghamilinya itu tidak diketahui keberadaannya atau tidak mau bertanggung jawab, maka dibolehkan bagi lelaki manapun yang mau dan siap untuk menikahi wanita hamil karena zina tersebut. Namun pendapat ini harus diletakkan pada posisi „darurat‟ dalam artian bahwa Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, cet. ke-1 Bogor Ghalia Indonesia, 2010, 60. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 61 pendapat ini adalah jalan terakhir setelah dilakukannya usaha untuk menikahkan si wanita hamil tadi dengan lelaki yang menghamilinya. Jika tidak mungkin untuk menikahkannya dengan lelaki yang menghamilinya, atau terdapat „ketidak-relaan‟/keberatan dari pihak wali dan keluarga besarnya untuk menikahkannya dengan lelaki yang menghamili tersebut, atau juga seperti yang terjadi terhadap wanita yang menjadi korban perkosaan, yang pastinya tidak akan pernah mau dinikahkan dengan lelaki yang memperkosanya, maka pendapat ini dapatlah digunakan. Kemudian menurut Syafi‟iyah bahwa dibolehkan menikahi wanita yang hamil di luar nikah dengan lelaki yang bukan menghamilinya dan dibolehkan pula „bercampur‟ dengannya sebelum melahirkan, karena benih yang dihasilkan dari perbuatan zina tidak memiliki nilai kehormatan sehingga tidak dianggap ada. Berbeda dengan Abu Hanifah dan Muhammad asy-Syaibani yang membolehkan menikahi wanita hamil karena zina dengan lelaki yang bukan menghamilinya tetapi tidak boleh „bercampur‟ sampai kelahiran anak yang dikandungnya itu.„Abdu ar-Rahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Juz IV, 403. Meskipun demikian, Imam Abu Zakariya Muhyi ad-Din bin Syaraf an-Nawawi dari kalangan ulama Syafi‟iyah menyatakan bahwa Artinya “Jika seorang wanita berzina maka tidak wajib „iddah atasnya, baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun dalam keadaan hamil. Maka apabila si wanita tersebut dalam keadaan tidak hamil, boleh bagi lelaki yang menzinainya atau pun lelaki lain yang tidak menzinainya untuk melakukan akad nikah dengan si wanita tersebut. Dan jika si wanita yang berzina itu dalam keadaan hamil, maka dimakruhkan untuk melakukan akad nikah dengannya sebelum melahirkan”. Lihat, Abu Zakariya Muhyi ad-Din bin Syaraf an-Nawawi, Kitab al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzdzab li asy-Syairazi, Juz XVII, cet. ke-1 Jeddah Maktabah al-Irsyad, 348. „Ala‟u ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟u ash-Shana-i‟ fi Tartib asy-Syara-i‟, Juz III, 453. Pendapat ini memang terkesan inkonsisten, karena di satu sisi membolehkan akad nikah dilaksanakan tetapi di sisi lain mengharamkan persetubuhan setelah terjadinya pernikahan tersebut. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 62 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Larangan ini terkesan mengkhawatirkan akan terjadinya percampuran benih dari lelaki yang berbeda, padahal dalam pandangan disiplin ilmu biologi, percampuran nasab tidaklah dimungkinkan lagi, sebab apabila benih sperma seorang lelaki telah masuk ke rahim seorang perempuan, maka benih lainnya yang masuk berikutnya tidaklah membawa pengaruh apapun terhadap keberlangsungan benih yang KHI, membolehkan menikahkan wanita hamil karena zina hanya dengan lelaki yang menghamilinya, dan tidak memberikan peluang bagi lelaki lain yang bukan menghamilinya. Ini merupakan kesimpulan umum dari beberapa pendapatberdasarkan pasal 53 KHI ayat 1 yaitu “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”. Namun sesungguhnya penggunaan kata “dapat” dalam rumusan pasal tersebut memiliki empat penafsiran, yaitu a harus dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, atau b boleh tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, atau c boleh dikawinkan dengan pria yang tidak menghamilinya, atau d boleh tidak dikawinkan dengan pria manapun sampai melahirkan. Namun demikian, adanya benih zina dengan sifatnya yang „tidak terhormat‟ tadi, tetap tidak dapat menghalangi kebolehan menikahkan wanita hamil akibat zina tersebut dengan lelaki yang bukan menghamilinya. Lihat, Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 149. Namun walaupun pendapat ini terkesan inkonsisten dan tidak populer–karena tujuan pernikahan adalah untuk menghalalkan persetubuhan, sedangkan pendapat ini meniadakan tujuan pernikahan tersebut–tetap saja pendapat ini harus dipandang sebagai kehati-hatian untuk tidak mudah menganggap sesuatu itu “tidak sah” apalagi dalam persoalan yang sifatnya zhanni seperti ini, bahkan larangan untuk menyetubuhi wanita hamil yang telah dinikahi itu juga termasuk dari bagian kehati-hatian pendapat ini agar benih yang dihasilkan dari perzinaan tidak bercampur dengan benih yang dihasilkan dari pernikahan yang sah. Kumpulan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta 1975-2012 Jakarta Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, 2012, 245. Lihat Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. ke-4 Jakarta Kencana, 2014, 37-38, Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, 43-44, Jasmani, Pembenaran Teoritis Tentang Keabsahan Anak Analisis Metodologik Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam Watampone Luqman al Hakim Press, 2013, 2-3. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 63 Beberapa penafsiran tersebut adalah sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dapat” dalam pasal 53 ayat 1 yang berarti bukan merupakan suatu keharusan, melainkan mengandung pilihan dan juga solusi sesuai dengan kasus yang terjadi seperti empat penafsiran di atas. Dampak dari penafsiran pertama yang mengatakan “harus dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” adalah bahwa wanita yang telah hamil di luar nikah harus dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya dan tidak ada pilihan lain selain daripada itu. Penafsiran ini dapat digunakan dalam kasus seorang wanita yang “terlanjur hamil” karena perbuatan zina dengan kekasihnya. Pada satu sisi, penafsiran ini memberikan solusi bagi wanita yang “terlanjur hamil” kemudian ia ingin dikawinkan, maka ia harus dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Namun pada sisi lain, dampak negatif dari penafsiran ini adalah bahwa sepasang sejoli yang merasa hubungan cintanya tidak direstui oleh orang tua dari kedua belah pihak–terlepas mereka mengetahui adanya penafsiran ini ataupun tidak–maka mereka dengan sengaja melakukan perzinaan sampai hamil dan kemudian melaporkan kepada orang tua mereka dengan harapan mereka dapat dikawinkan karena sudah “terlanjur hamil”, sehingga orang tua yang pada awalnya tidak merestui namun pada akhirnya “terpaksa” harus merestui keduanya disatukan dalam ikatan perkawinan. Selain itu, dampak lain dari penafsiran ini bahwa seorang lelaki yang telah menghamili seorang wanita namun ia melarikan diri atau tidak mau bertanggung jawab, kemudian pihak keluarga wanita mengerahkan warganya untuk mencari dan “menangkap” si lelaki yang selanjutnya dibawa atau “digiring” ke KUA untuk dinikahkan dengan wanita yang telah dihamilinya tersebut. Pihak keluarga beralasan dengan berdasarkan pada penafsiran ini yaitu bahwa seorang wanita yang hamil harus M. Yahya Harahap, ”Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. ke-1 Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999, 57. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 64 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya yang telah menghamili seorang wanita, sehingga si lelaki harus dipaksa untuk mengawininya apabila ia dikhawatirkan akan melarikan diri dari tanggung jawabnya. Intinya, penafsiran ini mengharuskan wanita yang hamil karena zina dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya. Penafsiran ini sesuai dengan pendapat Abu Yusuf dan Zufar dari kalangan fikih mazhab Hanafiyah. Dampak dari penafsiran kedua yang mengatakan “boleh tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” adalah bahwa wanita yang hamil di luar nikah itu bisa saja tidak dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya, artinya boleh dikawinkan dengan lelaki lain. Hal ini memberikan pilihan yang „menguntungkan‟ bagi wanita yang menjadi korban perkosaan yang pastinya tidak mau dikawinkan dengan lelaki yang telah memperkosanya dan telah merusak masa depannya, ataupun wanita yang ditinggal pergi oleh lelaki yang telah menghamilinya namun tidak mau bertanggung jawab sedangkan kehamilannya semakin membesar. Selain itu, penafsiran ini dapat pula digunakan oleh orang tua yang mengetahui bahwa anak perempuannya telah hamil oleh seorang lelaki namun tetap tidak merestui hubungan mereka dengan alasan-alasan tertentu seperti misalnya bahwa si lelaki dikenal sebagai lelaki yang tidak berakhlak baik, atau memiliki sifat-sifat buruk, sehingga orang tua dari pihak wanita merasa khawatir akan masa depan anaknya jika dikawinkan dengan lelaki tersebut. Penafsiran ini sesuai dengan pendapat dari fikih mazhab Syafi‟iyah dan Hanafiyah, namun perbedaannya terletak pada kebolehan mencampuri wanita yang hamil tersebut, dimana Syafi‟iyah membolehkan mencampurinya setelah akad nikah walaupun sebelum melahirkan anaknya, sedangkan Hanafiyah melarang lelaki yang menikahi wanita hamil padahal lelaki itu bukanlah yang menghamilinya untuk mencampurinya sampai proses kelahiran selesai. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 65 Penafsiran ketiga yang mengatakan “boleh dikawinkan dengan pria yang tidak menghamilinya”, sesungguhnya sama dengan penafsiran kedua, dalam artian bahwa wanita hamil karena zina boleh dikawinkan dengan lelaki yang tidak menghamilinya. Penafsiran keempat yang mengatakan “boleh tidak dikawinkan dengan pria manapun sampai melahirkan” merupakan pilihan bagi wanita yang telah hamil baik karena zina ataupun diperkosa. Dampak dari pilihan ini adalah bahwa wanita yang telah hamil di luar nikah, baik karena zina ataupun diperkosa, harus menghadapi kehamilannya sendiri bersama keluarganya tanpa adanya seorang suami dan mempersiapkan sendiri proses kelahirannya, sehingga ketika anak yang dikandungnya telah lahir, maka anak tersebut tidak mempunyai seorang lelaki yang dianggap sebagai bapaknya. Pilihan ini kemungkinan diambil oleh wanita yang menjadi korban perkosaan yang tidak mau dikawinkan dengan lelaki yang memperkosanya dan juga lelaki lainnya, kemudian bertekad untuk menjaga dan merawat janin hasil perkosaan tersebut dalam rahimnya dengan alasan apapun yang pasti sudah dipertimbangkannya sampai kelahiran anaknya. Penafsiran ini sesuai dengan pendapat fikih mazhab dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah yang tidak membolehkan untuk mengawinkan wanita hamil dengan lelaki manapun juga kecuali setelah proses kelahiran anak telah selesai. Jika keempat penafsiran terhadap pasal 53 KHI ini dapat diterima oleh masyarakat muslim, maka tidak ada perbedaan antara fikih mazhab dan KHI dalam perkara pernikahan wanita yang hamil di luar nikah. Namun memang harus diakui bahwa penafsiran pertama lah yang ternyata lebih banyak dipahami oleh masyarakat, sehingga terkesan menimbulkan dualisme dalam persoalan ini. Penafsiran kalimat “dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” yang diartikan sebagai sebuah keharusan seperti penafsiran pertama dalam KHI pasal 53 tersebut, sesungguhnya memiliki tujuan untuk menutup jalan agar tidak menimbulkan madharat lainnya, yang disebut dengan sadd adz-dzari‟ah. Maksudnya adalah bahwa perzinaan itu adalah sebuah madharat karena ia merupakan dosa besar yang menyebabkan benih janin tidak sah untuk dinasabkan kepada lelaki pemilik Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 66 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 benih itu, dan agar perbuatan dosa ini terhenti lalu kemudian benih anak yang akan dilahirkan berikutnya memiliki nasab kepada lelaki itu maka dikawinkanlah ia dengan „mitra‟ zinanya agar tidak menimbulkan madharat berikutnya. Sehingga hubungan kelamin yang dilakukan berikutnya menjadi sah dan status anak kedua dan seterusnya dari mereka berdua menjadi sah untuk dinasabkan kepadanya. Karena itu, menurut M. Yahya Harahap “lebih besar maslahat membolehkan kawin hamil daripada melarangnya”.Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasal 53 KHI ini diterapkan hanya bagi wanita hamil yang pada saat kehamilannya itu si wanita tersebut tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan seorang lelaki manapun, baik statusnya masih perawan ataupun janda yang telah habis masa „iddahnya. Dengan demikian, kehamilannya tersebut dipastikan adalah karena zina ataupun diperkosa. Sedangkan jika yang hamil adalah seorang wanita yang pada saat itu berada dalam ikatan perkawinan dengan seorang lelaki yaitu suaminya, maka pasal 53 ini tidak dapat diberlakukan walaupun kehamilannya itu terjadi akibat perzinaan dengan lelaki lain yang bukan suaminya. Artinya, kehamilan tersebut tetap dianggap sebagai hasil hubungan biologisnya dengan suaminya yang sah, kecuali kalau suaminya itu mengingkari kehamilan tersebut dengan berbagai alasan, maka suami boleh melakukan li‟ankepada isterinya, dan Kadi Sastrowirjono anggota tim Penyusun KHI dan mantan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan serta mantan Ketua Pengadilan Agama Jakarta Utara, wawancara pada 24 Mei 2017. M. Yahya Harahap, ”Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, 57. Li‟an adalah sumpah suami yang menuduh isterinya berbuat zina, sedangkan si suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi. [Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2009, 288. Menurut pasal 126 KHI, Li‟an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 67 walaupun suami mengingkari kehamilan isterinya, tetap saja pasal 53 ini tidak dapat diberlakukan kepada si wanita hamil tadi dalam artian tidak dapat dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya karena pada saat itu ia sedang berada dalam ikatan perkawinan dengan suaminya. Kecuali jika ikatan perkawinan tersebut telah putus dan si wanita telah melahirkan kandungannya, maka pasal 53 ini dapat diterapkan kepadanya karena saat itu statusnya adalah sebagai janda yang belum bersuami lagi yang telah habis masa „iddahnya yaitu telah melahirkan kandungannya.2 Nasab Anak dari Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah Perbedaan antara Fikih dan KHI dalam perkara ini terletak pada status anak sah nasab yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan seorang wanita yang hamil di luar nikah, yang berakibat pula pada kepemilikan hak keperdataan antara lelaki yang menikahi si wanita hamil tersebut dengan anak yang dilahirkannya, seperti hubungan perwalian dan kewarisan. Fikih mazhab Hanafiyah dan Syafi‟iyah mengakui adanya hubungan nasab antara lelaki yang mengawini wanita yang telah hamil di luar nikah dan anak yang dilahirkannya dengan syarat kelahiran itu telah melewati masa enam bulan sejak terjadinya akad perkawinan. Tetapi bila kelahirannya kurang dari masa enam bulan sejak perkawinan dilakukan, maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat dihubungkan nasabnya dengan lelaki yang mengawini ibunya tersebut, dengan kata lain, status anak tersebut adalah tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Lihat, Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, 53. Akibat dari Li‟an ini adalah terputusnya ikatan perkawinan antara suami isteri untuk selamanya. Lihat, Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, pasal 125, 53. Dalilnya adalah Firman Allah Swt, QS. al-Thalaq [65] ayat 4 “...dan perempuan-perempuan yang hamil. waktu „iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. Lihat, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 946. Juga hadits dari Abi Sa‟id Artinya “Dari Abu Sa‟id al-Khudri, secara marfu‟ bahwa Nabi Saw bersabda tentang tawanan wanita Authas “Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya satu kali” HR. Abu Dawud. Lihat, Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Riyadh Al-Ma‟arif, 1424 H, Bab Fi Wath‟i as-Sabaya Menyetubuhi Budak, Hadis No. 2157, 374. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 68 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 bukan anak sah dari lelaki yang mengawini wanita hamil itu, dan tidak berhak memiliki hak keperdataan satu sama lainnya. Dampak dari pendapat fikih ini adalah bahwa jika anak yang dilahirkan–kurang dari masa enam bulan sejak perkawinan ibunya–itu berjenis kelamin perempuan dan akan menikah nantinya, maka lelaki yang menikahi ibunya itu tidak berhak menjadi wali nikahnya meskipun ia adalah lelaki pemilik benih atau ayah biologis dari anak tersebut. Sehingga perwalian dalam akad nikah harus diserahkan kepada Wali Hakim dari pihak KUA. Demikian pula dalam persoalan warisan, antara lelaki dan anak itu tidak ada hubungan saling mewarisi, karena dalam hal ini status nasabnya hanya dihubungan kepada ibunya dan keluarga yang dituju oleh pendapat fikih ini adalah dalam rangka memberikan efek jera kepada lelaki yang berzina dengan menghalanginya untuk memperoleh nikmat dan karunia berupa ikatan nasab dengan anaknya, karena perzinaan adalah tindakan pidana jarimah yang tidak layak untuk mendapatkan balasan nikmat berupa nasab anak dengan hukuman ini setiap lelaki akan berfikir berulang kali jika mau berzina, walaupun pada akhirnya pendapat ini akan membawa akibat yang tidak diharapkan bagi si anak yaitu selamanya ia akan dianggap sebagai bukan anak sah dari lelaki yang menikahi ibunya dalam keadaan hamil karena zina. Sedangkan KHI sedikitpun tidak memberikan tenggang waktu sama sekali dalam jarak antara akad nikah dan kelahiran anak, prinsipnya adalah ketika sebuah perkawinan dinyatakan sah–termasuk perkawinan seorang wanita yang hamil di luar nikah dengan lelaki yang menghamilinya–maka segala yang Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 149. Mengenai ketiadaan hubungan saling mewarisi ini tidak hanya berlaku bagi anak yang berjenis kelamin perempuan saja, melainkan juga berlaku pada anak laki-laki. Berbeda dengan soal perwalian dalam pernikahan, yang hanya berlaku bagi anak perempuan saja, karena anak laki-laki tidak memerlukan wali dalam pernikahannya. M. Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Edisi kedua, Jakarta AMZAH, 2013, 88-89. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 69 terjadi dalam perkawinan yang sah itu juga dianggap sah, termasuk anak yang dilahirkan, sehingga ia pun berhak diberikan status sebagai anak sah. Pandangan KHI tersebut dapat dipahami dari ketentuan tentang anak sah yang tercantum pada pasal 99 huruf “a”, dimana ketentuan pasal ini dapat dijabarkan dalam dua pernyataan penjelasan sebagai berikut Pertama, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah”; atau Kedua, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah”. Diktum kedua dari pernyataan penjelasan tersebut di atas tidak dipandang kontroversial, karena secara idealnya memang anak yang sah itu adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah, dan pernyataan ini sudah menjadi kesepakatan dalam pandangan hukum manapun. Namun yang menjadi kontroversial adalah diktum pertama dari pernyataan penjelasan tersebut yang menyatakan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah”. Pernyataan ini memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, setelah terjadi akad nikah, isteri kemudian hamil lalu melahirkan, kedua, sebelum akad nikah isteri telah hamil terlebih dahulu, kemudian melahirkan setelah akad nikah. Kemungkinan kedua, sudah tentu telah terjadi unsur penyelewengan terhadap konsep nasab yang telah ditetapkan dalam Islam, penyelewengan yang dimaksud adalah bahwa telah terjadinya perzinaan sebelum akad kasus ini, KHI dianggap tidak memperhatikan adanya perzinaan yang oleh para ulama fikih dinyatakan bahwa perzinaan itu tidak dapat mengakibatkan adanya hubungan nasab, tetapi oleh KHI malah sebaliknya, dinyatakan memiliki hubungan nasab karena telah terjadinya akad nikah yang sah. Jasmani, Pembenaran Teoritis Tentang Keabsahan Anak., 62. Sakirman, “Tela‟ah Hukum Islam Indonesia Terhadap Nasab Anak” dalam Hunaifa Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 2, Desember 2015, 370 . Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 70 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Akibatnya adalah seolah-olah KHI tidak memberikan hukuman terhadap perbuatan zina, tetapi malah memberikan jalan keluar yang terkesan menggampangkan persoalan yang serius. Dampak yang timbul dari pendapat ini adalah bahwa kapanpun anak itu dilahirkan selama sudah terjadi akad nikah yang sah antara orang tuanya bahkan walaupun akad nikah tersebut hanya sesaat sebelum melahirkan anaknya, sehingga kelahiran anak tersebut berada dalam hubungan pernikahan yang sah, maka si anak tetap memperoleh predikat anak sah yang berhak memiliki semua hubungan perdata dengan “ayah”nya, termasuk nasab kepada ayahnya tersebut, hak perwalian dalam pernikahan dan hak saling mewarisi satu sama lainnya. Di sinilah letaknya perbedaan yang mendasar antara Fikih dan KHI. Sasaran yang dituju oleh pendapat KHI ini adalah memberikan kemaslahatan bagi si wanita dan anaknya, maslahat bagi si wanita yaitu ia melahirkan dengan memiliki status sebagai isteri dari seorang lelaki yang mengawininya sebelum kelahiran anaknya, dan maslahat bagi si anak yaitu statusnya terselamatkan dari kutukan seumur hidup karena menyandang gelar „anak zina atau anak tidak sah‟ karena tidak memiliki bapak ketika kita mencermati sasaran yang dituju dari kedua pendapat yang berbeda–yaitu pendapat Fikih dan KHI–dalam persoalan ini, maka dapat disimpulkan bahwa selamanya kedua pendapat ini tidak akan pernah bertemu pada satu kesepakatan yang sama, karena pendapat Fikih memberikan perhatian pada perbuatan zina yang dianggap sebagai dosa sehingga memberikan hukuman kepada lelaki yang menghamili dengan meniadakan hubungan nasab antara dirinya dan anak hasil zinanya, sedangkan KHI memberikan perhatian kepada status anak sebagai akibat dari kehamilan karena zina tersebut tanpa memberikan sanksi kepada pelaku zina. Menurut Jasmani, pasal 99 KHI ini memiliki dua maksud pokok, yaitu a melegalkan anak biologis; dan b menetapkan kesejahteraan anak biologis. Lihat, Jasmani, Pembenaran Teoritis Tentang Keabsahan Anak, 67 dan 69. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 71 Namun demikian, menurut Abdul Gani Abdullah, walaupun kedua pendapat dari Fikih dan KHI ini memiliki sasaran yang berbeda, tetapi keduanya memiliki tujuan hukum yang sama yaitu sama-sama memberikan kemaslahatan bagi manusia. Pendapat Fikih memberikan kemaslahatan pada kemurnian nasab, sedangkan KHI memberikan kemaslahatan pada hak kesejahteraan anak yang dilahirkan. Dan menurutnya, kedua pendapat ini dapat digunakan pada kondisi yang berbeda, dimana pendapat KHI digunakan untuk memberikan penekanan kepada lelaki yang menghamili si wanita agar lelaki tersebut sadar akan tanggung jawabnya sebagai ayah biologis bagi si anak yang berkewajiban memberikan nafkah dan memperhatikan kesejahteraannya, sedangkan pendapat Fikih digunakan ketika berkaitan dengan hak perwalian dan hubungan saling pada suatu kasus anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan sejak perkawinan orang tuanya, pendapat dari KHI dapat digunakan dalam persoalan nafkah dan kesejahteraan si anak, sedangkan pendapat dari Fikih dapat digunakan dalam persoalan perwalian dan warisan. Pandangan ini mungkin bisa dijadikan sebagai jembatan untuk mempertemukan kedua pendapat yang berbeda ini, sehingga keduanya dapat diterapkan. E. Penutup Dalam proses penyusunan KHI, terdapat dualisme antara aturan dalam Fikih Mazhab dan KHI. Namun yang perlu dipahami adalah bahwa dualisme ataupun perbedaan antara keduanya itu hanyalah sebatas pada tataran rumusan aturannya saja, sedangkan dalam pelaksanaannya tidak lagi ditemukan dualisme karena sudah terpilihnya satu pendapat untuk diterapkan yang diyakini lebih memberikan maslahat untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang dihadapi itu. Selanjutnya, mengenai persoalan pendapat mana yang dijadikan rujukan jika terjadi perbedaan yang sangat mendasar Abdul Gani Abdullah anggota tim penyusun KHI dan mantan Hakim Agung, wawancara pada 05 Juni 2017. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 72 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 antara Fikih dan KHI dalam satu perkara yang sama, maka menurut Abdul Gani Abdullah seharusnya dapat dilihat dari pendapat manakah yang lebih besar memberikan maslahat bagi masyarakat muslim antara Fikih dan KHI, karena dalam hal ini, tidak menggunakan Fikih atau KHI bukanlah sebuah dosa, justru yang berdosa adalah manakala kita meninggalkan masalah sosial di masyarakat tanpa memberikan solusi karena lebih sibuk berdebat soal perbedaan pendapat tersebut. Karena itu, penyelesaian terhadap masalah sosial yang terjadi itu diserahkan kepada masing-masing pengambil keputusan, dipersilahkan mau memilih menggunakan pendapat yang mana, karena masing-masing pendapat Fikih atau KHI itu memiliki dasar pertimbangan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan itu, Hamid Chalid berpendapat bahwa tidak ada kewajiban bagi kita untuk mengikuti dan tunduk secara mutlak pada hukum-hukum fikih yang terdapat dalam KHI ataupun Fikih Mazhab, sebab kedua-duanya mungkin saja benar dan mungkin juga salah yang menilai benar dan salahnya tentu saja Allah Swt. Selain itu, karakteristik dari fikih sebagai hukum buatan hasil ijtihad manusia adalah tidak mutlak nilai kebenarannya seperti halnya syariat, melainkan bersifat relatif/nisbi. Karena itu, jika dalam suatu permasalahan lebih meyakini kebenaran hukum fikih yang terdapat di dalam KHI daripada hukum yang ada di dalam kitab-kitab fikih mazhab, maka boleh saja merujuk pada KHI, dan begitu juga sebaliknya. Namun terkadang tidak mudah untuk menjembatani dualisme tersebut, karena itu perlu adanya dialog untuk mencari titik temu antara pendapat yang berbeda tersebut yang diprakarsai oleh Pemerintah yang mempertemukan antara para Ulama Kyai dengan pihak Hakim Pengadilan Agama. Daftar Pustaka Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Edisi pertama, cet. ke-5, Jakarta Akademika Pressindo, 2007. Ad-Dimasyqi, Abu „Abdillah Muhammad bin „Abdi ar-Rahman, al-„Utsmani asy-Syafi‟i, Rahmatu al-Ummah fi Ikhtilafi al-A‟immah, Maktabah al-Taufiqiyah, Ad-Dimyathi, Abu Bakar „Utsman bin Muhammad Syatha, Hasyiyah I‟anatu ath-Thalibin, Jilid I, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2014. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 73 Al-„Abadi, Abdullah, Syarh Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, cet. ke-1, Cairo Dar as-Salam, Juz III, 1995. Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Isma‟il, Shahih al-Bukhari, Riyadh Bayt al- Afkar ad-Dauliyyah, 1998. Ali, Mohammad Daud, “Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, ed., Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1991. …………, Asas-asas Hukum Islam Hukum Islam I Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2, Jakarta Rajawali Pers, 1991. …………, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, edisi ketiga, cet. ke-3, Jakarta RajaGrafindo Persada, 1993. Al-Jaziri, Abdu ar-Rahman, Kitabu al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Beirut Dar al-Fikr, Juz IV, 2011. Al-Kasani, „Ala„u ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud, al-Hanafi, Bada‟i‟u ash-Shana‟i‟ fi Tartib asy-Syara‟i‟, Juz III, cet. ke-2, Beirut Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 2003. Al-Mahalli, Husain bin Muhammad, as-Syafi‟i, Al-Ifshah „an „Aqdi an-Nikah „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, cet. ke-1, Syiria Dar al-Qalam al-„Arabi, 1995. Al-Qarafi, Abu al-„Abbas Ahmad bin Idris Shonhaji, Al-Furuq Anwar al-Buruq fi Anwa‟i al-Furuq, cet. ke-1, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, 1998. …………, Adz-Dzakhirah, cet. ke-1, Beirut Dar al-Gharbi al-Islami, Juz IV, 1994. An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyi ad-Din bin Syaraf, Kitab al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzdzab li asy-Syairazi, cet. ke-1, Jeddah Maktabah al-Irsyad, Juz XVII, As-Sajastani, Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats, Sunan Abi Dawud, Riyadh Al-Ma‟arif, 1424 H. As-Subki, Tâjuddin, Jam‟u al- Jawami‟ fi Ushul al-Fiqh, Beirut Dar al-Kotob al-„Ilmiyah, 2013. As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Asybah wa an-Nazha‟ir fi Qawa‟id wa Furû‟i Fiqh asy-Syafi‟iyyah, Cairo Dar al-Hadis, 2013. Asy-Sya‟rani, Abu al-Mawahib „Abdu al-Wahhab bin Ahmad bin „Ali al-Anshari, Al-Mizan al-Kubra, Beirut Dar al-Fikr, Juz II, Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 74 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Asy-Syarbini, Syamsu ad-Din Muhammad bin Khatib, Mughni al-Muhtaj, cet. ke-1, Beirut Dar al-Ma‟rifah, Juz III, 1997. Asy-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuz Abadi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi‟i, Juz II, cet. ke-1, Beirut Dar al Kutub al-„Ilmiyyah, 1995. Attamimi, A. Hamid S., “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., cet. ke-1, Jakarta Gema Insani Press, 1996. Az-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-2, Damaskus Dar al-Fikr, Juz VII, 1985. …………, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I, Damaskus Dar el-Fikr, 1986. Ba‟alawi, Abdu ar-Rahman bin Muhammad bin Husain bin „Umar, Bughyat al-Mustarsyidin, cet. ke-5, Beirut Dar al Kutub al-„Ilmiyah, 2016. Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. ke-1, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999. Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, Bandung Humaniora Utama Press, 1991. Gunawan, Edi, “Pembaruan Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam”, dalam Hunafa Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 1, Desember 2015. Harahap, M. Yahya, ”Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. ke-1, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999. Humaedillah, Memed, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, Jakarta Gema Insani, 2002; Ibn Qudamah, Abu Muhammad bin „Abdillah bin Ahmad bin Muhammad, al-Hanbali, Al-Mughni, Juz IX, cet. ke-3, Riyadh Dar „Alam al-Kutub, 1997. Irfan, M. Nurul, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta AMZAH, Edisi kedua, 2013. Jasmani, Pembenaran Teoritis Tentang Keabsahan Anak Analisis Metodologik Pasal 99 dan 100 Kompilasi Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 75 Hukum Islam, Watampone Luqman al-Hakim Press, 2013. Khallaf, Abd. Wahhab,„Ilmu Ushul al-Fiqh, Cairo Da‟wah Islamiyah Syabab al-Azhar, 1956. Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, Kumpulan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta 1975-2012, Jakarta, 2012. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. ke-4, Jakarta Prenadamedia Group, 2014. Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-3,Jakarta PT. RajaGrafindo Persada, 2013. Muamar, Afif, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Wali Hakim Bagi Anak Perempuan yang Lahir Dâri Perkawinan Hamil Studi Komparasi di KUA Sewon dan KUA Kotagede”, Yogyakarta Fakultas Syari‟ah Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah UIN Sunan Kalijaga, 2009. Mukarromah, Haima Najachatul, “Proses Pelaksanaan Perwalian Anak Luar Nikah berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif di KUA Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri”, Yogyakarta Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga, 2015. Muslim bin al-Hajjaj, Abu al-Husain, Shahih Muslim, Riyadh Bayt al-Afkar ad-Dauliyyah, 1998. Musy‟al, Mahmud Isma‟il Muhammad, Atsaru al-Khilaf al-Fiqhiy fi al-Qawa‟id al-Mukhtalaf Fiha, Cairo Dar as-Salam, 2009. Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta Sinar Grafika, 2006. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cet. ke-1, Jakarta RajaGrafindo Persada, 1995. Sâbiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-4, Beirut Dar al-Fikr, Juz II, 1983. Sakirman, “Tela‟ah Hukum Islam Indonesia Terhadap Nasab Anak” dalam Hunaifa Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 2, Desember 2015. Siregar, Bismar, “Hukum Islam Sebagai Institusi Keagamaan”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, ed., Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1991. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 76 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2009. Tim Penyusun Ditjen. Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Edisi 2004. Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu‟un al-Islamiyyah, Al-Mawsu‟ah al-Fiqhiyyah, Juz I, Kuwait, 1983. Yanggo, Huzaemah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, cet. ke-1, Bogor Ghalia Indonesia, 2010. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Madinah Pencetakan Al-Qur‟an Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd, 1412 H. Zahrah, Muhammad Abu, Al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, cet. ke-3, Cairo Dar al-Fikr al-„Arabi, 1957. Zakariya al-Anshari, Abu Yahya Zakariya bin, Fathu al-Wahhab bi Syarhi Minhaju ath-Thullab, 2, Cairo Maktabah asy-Syuruq ad-Dawliyah, 2013. Indung WijayantoCahya WulandariPenelitian ini bertujuan untuk menemukan harmonisasi antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan legal culture dalam penegakan pasal zina beserta permasalahannya. Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan jenis penelitian kualitatif. Meskipun sudah ada aturan hukum pidana positif yang mengatur terkait tindak pidana zina, namun belum bisa menampung semua permasalahan yang terjadi di Indonesia tentang zina. Aturan terkait zina yang belum bisa tertampung adalah aturan mengenai zina yang terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan dengan siapa pun. Sehingga guna menyelesaikan permasalahan yang ada dalam masyarakat, masyarakat menggunakan hukum adat yang mereka pegang teguh sebagai pedoman dan panduan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, diperlukan suatu pembaharuan dalam hukum pidana guna menampung permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat yang tidak dapat terpenuhi oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku saat GunawanThis paper discusses the reform of Islamic law in the Islamic Law Compilation. The main sources of Islamic law are the Qur'an and Sunnah shall be applied to the human race. Therefore, Islamic law must be able to respond to development and change that occur in people's lives. Reform of Islamic law as the search for relevance to the development of contemporary Islamic law is not a stand-alone effort, but is influenced by internal factors and external factors. One Islamic law in Indonesia in the form of the regulation that has become positive law is Islamic Law Compilation. Several articles in the Islamic Law Compilation is a form of Islamic law reform. Whether it relates to marriage or about donation such grants could be a legacy. There are many other clauses which are part of the reform of Islamic law in the Islamic law yang serupa juga diberikan oleh Tajuddin as-Subki, Jam"u al-Jawami" fi Ushul al-Fiqh cetal-Fiqh, Cairo Da"wah Islamiyah Syabab al-Azhar, 1956, 11. Definisi yang serupa juga diberikan oleh Tajuddin as-Subki, Jam"u al-Jawami" fi Ushul al-Fiqh Beirut Dar al-Kotob al-"Ilmiyah, 2013, 13, Abu Yahya Zakariya bin Zakariya al-Anshari, Fathu al-Wahhab bi Syarhi Minhaju ath-Thullab, Cairo Maktabah asy-Syuruq ad-Dawliyah, 2013, 20, Abu Bakar "Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Hasyiyah I"anatu ath-Thalibin, Jilid I, Beirut Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2014, al-Fiqh al-Islami, 19, lihat Abd. Wahhab KhallafWahbah Az-ZuhailyWahbah Az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, 19, lihat Abd. Wahhab Khallaf,"Ilmu Ushul al-Fiqh, Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum IslamYahya HarahapM. Yahya Harahap, "Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam", pasal 126 KHI, Li"an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak AlLiLi"an adalah sumpah suami yang menuduh isterinya berbuat zina, sedangkan si suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi. [Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2009, 288. Menurut pasal 126 KHI, Li"an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak Al-"Abadi, Abdullah, Syarh Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, cet. ke-1, Cairo Dar as-Salam, Juz III, Abu Abdillah Muhammad bin Isma"il, Shahih al-Bukhari, Riyadh Bayt al-Afkar ad-Dauliyyah, Islam Peradilan Agama dan MasalahnyaMohammad AliDaudAli, Mohammad Daud, "Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya", dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, ed., Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, al-Fiqh "ala al-Mazahib al-Arba"ah, Beirut Dar al-FikrAbdu Al-JaziriAr-RahmanAl-Jaziri, Abdu ar-Rahman, Kitabu al-Fiqh "ala al-Mazahib al-Arba"ah, Beirut Dar al-Fikr, Juz IV, Husain bin Muhammad, as-Syafi"i, Al-Ifshah "an "Aqdi an-Nikah "ala al-Mazahib al-ArbaAl-KasaniAl-Kasani, "Ala"u ad-Din Abi Bakr bin Mas"ud, al-Hanafi, Bada"i"u ash-Shana"i" fi Tartib asy-Syara"i", Juz III, cet. ke-2, Beirut Dar al-Kutub al-"Ilmiyah, 2003. Al-Mahalli, Husain bin Muhammad, as-Syafi"i, Al-Ifshah "an "Aqdi an-Nikah "ala al-Mazahib al-Arba"ah, cet. ke-1, Syiria Dar al-Qalam al-"Arabi, Al-QarafiAlAl-Qarafi, Abu al-"Abbas Ahmad bin Idris Shonhaji, Al-Furuq Anwar al-Buruq fi Anwa"i al-Furuq, cet. ke-1, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, 1998.
This article discusses the implications of fostering church youth on the factors that cause cases of pregnancy out of wedlock. The author uses qualitative methods with data collection techniques of observation, and interviews, then in compiling the implications of the author using relevant library sources. The results showed that the factors causing cases of pregnancy out of wedlock are the lack of attention and supervision of parents, then the free association of youth, lack of self-fortification, lack of sexual knowledge, and technological developments that facilitate access to negative sexual information. The implication for church youth coaching is that holistic coaching is needed for both youth and parents. Coaching can be done by organizing groups to grow together, Christian faith seminars, personal care and making catechism curriculum on sexuality. Artikel ini membahas tentang implikasi pembinaan pemuda gereja atas faktor-faktor penyebab kasus hamil di luar nikah. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, dan wawancara, kemudian dalam menyusun implikasi penulis menggunakan sumber-sumber pustaka relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya kasus hamil di luar nikah adalah kurangnya perhatian dan pengawasan orang tua, kemudian pergaulan bebas pemuda, kurangnya pembentengan diri, minimnya pengetahuan seksual, dan perkembangan teknologi yang memudahkan akses informasi negatif seksual. Implikasi bagi pembinaan pemuda gereja adalah perlu dilaksanakan pembinaan yang holistik baik pada pemuda maupun orangtua. Pembinaan dapat dilaksanakan dengan menyelenggarakan kelompok tumbuh bersama, seminar iman Kristen, personal care dan pembuatan kurikulum katekisasi tentang seksualitas. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 194 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 Evangelikal Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 194-207 2548-7558 Online 2548-7868 Cetak IMPLIKASI PEMBINAAN PEMUDA GEREJA ATAS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KASUS HAMIL DI LUAR NIKAH Theresia Tiodora Sitorus Universitas Kristen Satya Wacana Email theresiatiodora ABSTRACT This article discusses the implications of fostering church youth on the factors that cause cases of pregnancy out of wedlock. The author uses qualitative methods with data collection techniques of observation, and interviews, then in compiling the implications of the author using relevant library sources. The results showed that the factors causing cases of pregnancy out of wedlock are the lack of attention and supervision of parents, then the free association of youth, lack of self-fortification, lack of sexual knowledge, and technological developments that facilitate access to negative sexual information. The implication for church youth coaching is that holistic coaching is needed for both youth and parents. Coaching can be done by organizing groups to grow together, Christian faith seminars, personal care and making catechism curriculum on sexuality. Keywords courtship, sex, marriage ABSTRAK Artikel ini membahas tentang implikasi pembinaan pemuda gereja atas faktor-faktor penyebab kasus hamil di luar nikah. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, dan wawancara, kemudian dalam menyusun implikasi penulis menggunakan sumber-sumber pustaka relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya kasus hamil di luar nikah adalah kurangnya perhatian dan pengawasan orang tua, kemudian pergaulan bebas pemuda, kurangnya pembentengan diri, minimnya pengetahuan seksual, dan perkembangan teknologi yang memudahkan akses informasi negatif seksual. Implikasi bagi pembinaan pemuda gereja adalah perlu dilaksanakan pembinaan yang holistik baik pada pemuda maupun orangtua. Pembinaan dapat dilaksanakan dengan menyelenggarakan kelompok tumbuh bersama, seminar iman Kristen, personal care dan pembuatan kurikulum katekisasi tentang seksualitas. Kata kunci pacaran, seks, perkawinan PENDAHULUAN Istilah pacaran sudah hal yang lazim untuk didengar masyarakat saat ini. De Genova, Rice, Sti-nnett dan Stinnett 2010 memberi pengertian bahwa pacaran merupakan sebuah hubungan yang dijalan-kan oleh dua orang yang mana kedua orang tersebut bertemu untuk melakukan berbagai aktivitas bersa-ma dengan tujuan agar dapat saling mengenal satu sama lain. Pacaran adalah masa persiapan menuju pernikahan dan masa paling mengenal lebih dalam antara seorang laki-laki dan perempuan. Istilah pa-caran dimulai sejak pasca Perang Dunia I terjadi setelah tahun 1918. Pada masa itu, hubungan pria dan wanita sebelum munculnya pacaran, dilakukan secara formal dengan cara pria datang mengunjungi pihak wanita dan keluarganya. Menurut Pangaribuan 2015, p. 6 proses pacaran kemudian mulai menjadi sebuah keputusan pribadi dan adanya rasa cinta serta saling ketertarikan antara pria dan wanita menjadi dasar utama seseorang untuk menikah. Kemudian Pangaribuan menekankan bahwa saat ini telah ter-jadi pergeseran dalam perilaku orang berpacaran. Penyebabnya menurut Pangaribuan karena adanya orientasi berpacaran yang berpusat pada hubungan seks bukan untuk memperlihatkan keseriusan kepada tahap selanjutnya, yakni pernikahan Pangaribuan, 2015, p. 7. Contoh kasus diungkapkan oleh Harma-di dan Diana 2020 dalam jurnalnya yang mengata-kan bahwa fenomena saat ini adalah adanya perilaku seksual yang bermasalah bahkan mengarah pada ter-jadinya kekerasan seksual dalam pacaran. Theresia Tiodora Sitorus, Implikasi Pembinaan Pemuda Gereja Atas Faktor-Faktor Penyebab …. 195 Dalam Alkitab pacaran sangat dekat kaitan-nya dengan pertunangan dan perkawinan. Pertunang-an dalam Alkitab dapat ditemukan melalui kisah per-tunangan Yakub dan Rahel pada Kejadian 291-30. Mathews 2005, p. 456 mengatakan bahwa dalam pasal ini terlihat kesungguhan Yakub untuk mem-buat Rahel menjadi Istrinya. Rahel, anak perempuan Laban memiliki kerendahan hati dan ketekunan. Ia tetap menggembalakan kambing domba ayahnya ay. 9, walaupun ia memiliki hamba-hamba yang diperkerjakan ayahnya untuk menjagai kambing domba itu. Ketika Yakub bertemu dengan Rahel, ia terpesona oleh wajah Rahel yang alami dan elok, la-lu langsung terbersit dalam pikirannya bahwa Rahel harus menjadi istrinya. Kemudian, Yakub memberi-tahu Laban tentang perasaannya kepada Rahel. Ka-rena tidak mempunyai harta duniawi di tangannya untuk mempersunting Rahel, Yakub kemudian ber-janji bahwa ia akan bekerja selama tujuh tahun ke-pada Laban, dengan persyaratan bahwa, setelah ma-sa tujuh tahun itu berakhir, Laban bersedia mengi-zinkan Rahel menikah dengannya. Yakub kemudian bekerja selama tujuh tahun untuk mendapatkan Ra-hel dan dengan jujur Yakub melayani selama tujuh tahun sebagaimana telah dijanjikannya. Bahkan, ia menjalankannya dengan senang hati Tetapi yang tu-juh tahun itu dianggapnya seperti beberapa hari saja, karena cintanya kepada Rahel, seolah-olah ia lebih ingin mendapatkan Rahel dengan bekerja daripada memilikinya begitu saja. Perhatikanlah, kasih yang tulus membuat pekerjaan-pekerjaan yang lama dan sulit menjadi sebentar dan mudah. Mathews, 2005, p. 457. Masa kerja tujuh tahun itu diperhitungkan sebagai mas kawin. Kebiasaan membayar mas kawin ini merupakan bukti pengakuan bahwa wanita me-mang berguna dan sebagai ganti rugi kepada keluar-ga atas hilangnya tenaga kerja karena perkawinan. Bagi Yakub yang sangat mencintai Rahel, tujuh ta-hun terasa cepat berlalu. Tetapi pada saat Yakub me-nerima bayaran dari apa yang ia kerjakan dari La-ban, Laban memberikan putrinya yang lebih tua, yai-tu Lea. Yakub tidak mengetahui bahwa Laban me-nipunya. Karena pada zaman itu calon pengantin wanita memakai cadar yang tebal, selama berlang-sung upacara di tengah kegelapan ia dikawal banyak orang. Kemudian pada zaman itu juga, pesta perka-winan berlangsung selama 7 hari Hak. 1410-18 dan dalam masa 7 hari itu pun pengantinnya sudah boleh melakukan hubungan seks sehingga Yakub ti-dur dengan istrinya Viviano, 2002, p. 66. Dari ki-sah Yakub dan Rahel ini terlihat bahwa hubungan seks boleh diijinkan sesudah pesta perkawinan. Oden 2006, p. 37 mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan suami-istri yang direncanakan oleh Allah dan dipenuhi kasih, saling pengertian, damai sejahtera, serta kebahagiaan. Karena itu, kekudusan dalam perkawinan sangat dibutuhkan dan itu selalu berhubungan dengan seks yang merupakan milik su-ami dan istri. Dalam 1 Korintus 75, Paulus mengi-ngatkan orang Korintus untuk menghormati komit-men perkawinan yang sudah dilakukan. Hubungan perkawinan adalah suatu kewajiban seseorang yang memiliki otoritas atas tubuh orang lain secara timbal balik. Paulus meneruskan pembelaannya mengenai perkawinan dengan mengajukan alasan bahwa kese-tiaan perkawinan lebih baik dari percabulan seks. Mereka yang memilih perkawinan harus setia dan saling menghormati. Para suami dan istri memiliki satu sama lain. Persatuan antara suami dan istri yang demikian mencerminkan tata penciptaan. Perkawin-an dalam Kekristenan tidak boleh ada eksploitasi, dominasi, atau penekanan, melainkan pemberian yang bebas dan berbalasan atas dirinya kepada pa-sangannya. Bila harus ada yang menghindari hu-bungan seksual, hal itu haruslah dilakukan dengan persetujuan bersama. Menjauhi pasangan berarti me-nyangkal hak-hak perkawinan pasangan, dan itu sa-ma dengan mencuri. Paulus mengatakan lakukanlah pertahanan diri; tetapi jadikanlah itu sebagai penge-cualian dan bukan sebagai sesuatu yang umum. Pas-tikanlah bahwa kamu berdua setuju dengan tindakan tersebut, dan jangan melakukannya secara berlebih-an bila tidak, Iblis akan menggunakan niat-niat yang saleh untuk membawa seseorang ke dalam jebakan. 196 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 Mencermati perkembangan pola berpacaran, pada abad 20-an sebelum seseorang membangun ru-mah tangga, kebanyakan dari laki-laki dan perem-puan masuk dalam proses pengenalan lebih dalam, yakni berpacaran terlebih dahulu. Tetapi para pe-muda millennial ada yang menganggap bahwa pa-caran itu merupakan sebuah tradisi yang tidak ter-tulis. Pikiran-pikiran seperti inilah yang sudah mele-kat dipikiran para pemuda sekarang yang membuat makna pacaran itu menjadi bergeser dan berkurang maknanya. Berdasarkan apa yang bisa disaksikan sa-at ini, ada pemuda yang melakukan pacaran menga-rah ke arah yang negatif, sikap dalam berpacaran ter-lalu bebas tanpa berlandaskan nilai moral dan agama yang seharusnya menjadi prioritas utama. Itu ter-bukti dari adanya pemuda yang menjadi korban aki-bat bentuk pacaran yang negatif. Hubungan pacaran yang negatif, sehingga mengakhiri pendidikannya dikarenakan sudah hamil di luar nikah dan harus menikah. Keadaan yang seperti inilah dapat mengan-cam, baik di masa kini, maupun di masa-masa yang akan datang. Bukan hanya hamil di luar nikah, tetapi seks bebas dan aborsi juga akan dampak dari pacar-an yang tidak berlandaskan nilai moral dan agama. Hal ini dapat dibuktikkan, di Indonesia sendiri kasus seks bebas setiap tahun semakin meningkat jumlah-nya, umumnya di kota-kota besar. Survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional BKKBN pada tahun 2010, se-perti dituliskan oleh Andriani 2014 menunjukkan 52 persen pemuda di Medan sudah melakukan seks bebas dan mengakibatkan penyakit Infeksi Menular Seksual IMS. Angka ini menunjukkan bahwa jum-lah pemuda yang melakukan seks bebas sudah se-makin banyak. Perilaku seks bebas yang melanda para pemuda sering sekali menimbulkan kecemasan para orang tua, pendidik, pemerintah, para ulama, dan lain-lain. Selain jumlah kasus seks bebas, jum-lah kasus aborsi juga mengalami peningkatan. De-partermen Kesehatan RI mencatat bahwa setiap ta-hunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada pemuda. Prosentasenya adalah 30% dari total 2 juta kasus, dilakukan oleh dukun. Penelitian PKBI menunjuk-kan tahun 2005 di 9 kota mengenai aborsi dengan 37,685 responden, 27% dilakukan oleh klien yang belum menikah dan terdapat kasus dimana klien su-dah mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara sen-diri dengan meminum jamu khusus. Sementara 21,8% dilakukan oleh klien dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani permintaannya Andriani, 2014. Semakin meningkatnya jumlah kasus hamil di luar nikah, seks bebas, dan aborsi setiap tahunnya disebabkan karena kurang hati-hatinya pemuda ter-sebut dalam menjalani masa pacaran. Masa pacaran tidak difungsikan sebagai masa untuk menjajaki si-kap, perilaku, pola pikir dan kepribadian pasangan-nya, melainkan digunakan untuk hal-hal yang ber-kaitan dengan seks dan membangkitkan birahi. Dalam pengamatan penulis, kasus hamil di luar nikah sebagai akibat dari pacaran yang tidak be-nar terjadi di banyak gereja. Hanya dalam penelitian ini, penulis mencermati kasus yang terjadi di ling-kungan Huria Kristen Batak Protestan HKBP di Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara. Da-lam penelitian awal terhadap data yang dimiliki oleh HKBP, ada beberapa pemuda yang mengalami ma-salah pacaran hingga terjadi hamil di luar nikah. Per-soalan ini perlu ditangani untuk meminimalkan per-masalahan. Oleh sebab itu perlu diteliti faktor pe-nyebabnya kemudian dikemukakan implikasi bagi pembinaan pemuda di lingkungan HKBP. Rumusan masalah dalam penelitian ini ada-lah apa faktor-faktor penyebab kasus hamil di luar nikah dan implikasinya bagi pembinaan pemuda ge-reja? Tujuan penelitian ini adalah memaparkan fak-tor-faktor penyebab kasus hamil di luar nikah dan implikasinya bagi pembinaan pemuda gereja. METODE Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode kualitatif karena peneliti berusaha menemukan dan menggambarkan secara naratif ke-giatan yang dilakukan dan dampak dari tindakan yang dilakukan Anggito & Setiawan, 2018, p. 7. Dalam penelitian kualitatif ini penulis berusaha Theresia Tiodora Sitorus, Implikasi Pembinaan Pemuda Gereja Atas Faktor-Faktor Penyebab …. 197 mengungkap data lapangan untuk memberikan infor-masi yang jelas terhadap apa yang disajikan dalam laporan penelitian Anggito & Setiawan, 2018, p. 11. Pendekatan kualitatif dapat dipilih dalam pene-litian keagamaan karena dapat membantu mengana-lisis permasalahan dan mencari makna secara men-dalam serta membantu pengembangan gereja Pur-wanto, 2016; Zaluchu, 2020. Dalam melakukan penelitian ini, penulis secara langsung meneliti kon-disi yang terjadi dalam lapangan. Tehnik pengum-pulan data yang digunakan penulis untuk menambah informasi dan menganalisis data adalah studi kepus-takaan, observasi, dan wawancara. Data lapangan yang disajikan penulis berisikan uraian-uraian infor-masi yang didapat penulis dari informan. Setiap data dituangkan penulis melalui kata-kata dan tidak be-rupa angka-angka atau rumus-rumus. Penulis me-mulai dengan menjelaskan makna pacaran dalam Al-kitab dan makna perkawinan yang didapat penulis dari studi kepustakaan, kemudian penulis mendes-kripsikan hasil informasi yang didapat penulis dari lapangan tentang faktor-faktor penyebab dari kasus hamil di luar nikah. Untuk menemukan faktor-faktor penyebab kasus hamil di luar nikah ini, penulis mengambil 5 informan yang berasal dari pasangan suami-istri yang hamil di luar nikah dari beberapa gereja HKBP di Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara. Penulis merahasiakan identitas pri-badi informan atas pertimbangan etis, tetapi data yang penulis sajikan sesuai dengan hasil fieldnote. HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor-Faktor Penyebab Kasus Hamil di Luar Nikah Berdasarkan penelitian lapangan yang dila-kukan oleh penulis, penulis menemukan faktor-fak-tor penyebab pacaran yang negatif. Dalam hal ini pe-nulis menyebutnya sebagai pacaran yang tidak Kris-tiani. Gambar Kasus Hamil di Luar Nikah Faktor Kasus Hamil di Luar Nikah Faktor Kurangnya Perhatian dan Pengawasan Orangtua Faktor Pergaulan Bebas Faktor Kurangnya Pembentengan/Pertahanan Diri Faktor Tidak Mendapat Pengetahuan Seksualitas Faktor Teknologi 198 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 Perhatian dan Pengawasan Orangtua Kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua menjadi salah satu faktor utama yang membuat terjadinya pacaran yang negatif sehingga menghasilkan kasus hamil di luar nikah. Orang tua sibuk dengan pekerjaannya sehingga perhatian dan arahan terhadap anak-anaknya sangat kurang diberi-kan. Kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua mengakibatkan seorang anak mudah ter-bujuk oleh perilaku mesra lawan jenis yang lebih dewasa. Belaian, perhatian, ciuman dan pelukan di-pandang merupakan wujud dari kasih sayang. Dalam kondisi mental labil, seorang anak muda akan mu-dah sekali dibujuk melakukan hubungan seksual oleh predator yang lebih dewasa maupun seusia Magdalena, 2010, p. 33. Hal inilah yang dialami oleh ES dan MS. ES 2019 menjelaskan bahwa mulai dari kecil ia kurang mendapat perhatian dari kedua orang tuanya. Tetapi ketika ia berpacaran, perhatian itu ia dapat dari sang pacar. Sang pacar se-ring memberikan barang-barang yang ia minta. Ke-mudian sang pacar memanfaatkan keadaan ES de-ngan terus merayunya untuk melakukan hubungan intim dan pada saat itu posisi ES juga sedang me-nyusun skripsi yang tidak selesai, ditambah juga ES bermasalah dengan dosen pembimbing skripsinya, akhirnya ia menyetujui permintaan pacarnya. Se-dangkan pada kasus MS 2019 menunjukkan bahwa orang tuanya juga tidak pernah menanyakan bagai-mana kuliahnya dan pergaulannya terkhusus hu-bungan pacarannya. Orang tua MS selalu sibuk de-ngan pekerjaannya dan hanya memberikannya uang untuk keperluannya. MS mengatakan memang da-lam keluarganya, keharmonisan keluarga itu kurang diperhatikan. Padahal orang tua MS adalah orang tua yang berasal dari latar belakang pendidikan dan pe-kerjaan yang baik. Dalam keluarga tidak pernah ada waktu untuk kumpul bersama-sama bahkan untuk doa bersama dan makan bersama tidak pernah dila-kukan. MS mengikuti rayuan yang diungkapkan oleh sang pacar untuk melakukan hubungan intim. Hal ini dilatar-belakangi oleh orang tua yang tidak membe-rikan perhatian dan terlalu sibuk dengan pekerjaan-nya. Ketika orang tua gagal dalam menanamkan ni-lai-nilai dalam diri anak dan kurang memfasilitasi perkembangan karakter yang baik, maka anak akan mencari nilai-nilai dari luar dan pembentukan karak-ter akan bergantung pada peneladanan di lingkungan sosial yang lebih luas Magdalena, 2010, p. 32. Lingkungan keluarga menjadi salah satu lingkungan yang utama dimana anak bertumbuh dan dibimbing dengan karakter kepribadian yang baik. Mariani dan Diana 2020 lingkungan keluarga memberi dua pengaruh bagi pertumbuhan anak, da-pat menjadi penunjang pertumbuhan anak yang baik, atau malah menjadi penyesat bagi anak. Oleh karena itu, orang tua sangat berperan untuk memberikan pembekalan bagi anak dalam dalam mengantarkan anak memasuki remaja dan bergabung dengan ke-lompok usia sebayanya. Menjadi nak yang berguna untuk kehidupan pribadinya, orang lain, dan ling-kungan lebih luas tergantung didikan dari keluarga si anak. Di dalam keluarga, orang yang memiliki kuasa dan yang sangat berperan adalah orang tua. Orang tualah yang menjadi bertanggung-jawab untuk mem-berikan didikan dan arahan yang baik terhadap anak melalui perhatian setiap hari. Selain bekerja untuk mencari nafkah, orang tua harus memberikan waktu untuk berkomunikasi kepada anak bagaimana kehi-dupan dan pergaulannya di luar lingkungan keluar-ga. Jika orang tua mendidik anak secara benar dan memberikan perhatian melalui waktu yang disiap-kannya untuk berkomunikasi kepada anak, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang memiliki pri-badi yang baik dan tidak terpengaruh oleh lingkung-an di luar keluarga. Pergaulan Bebas Pergaulan merupakan suatu hubungan antar manusia sebagai mahkluk sosial yang tidak dapat dihindarkan. Pergaulan tersebut dapat berupa hu-bungan reaktif saja, dimana antara dua individu atau lebih hanya terjalin hubungan bagaikan tanya-jawab saja. Menurut Illua 2020 pergaulan yang dimiliki si anak dapat memberikan pengaruh bagi tumbuh kem-bangnya dan dapat membentuk karakter si anak, Theresia Tiodora Sitorus, Implikasi Pembinaan Pemuda Gereja Atas Faktor-Faktor Penyebab …. 199 baik karakter yang baik ataupun karakter yang tidak baik. Terdapat pergaulan antar individu yang ber-sangkutan aktif dan kreatif menciptakan hubungan dimana masing-masing saling memajukan tarif kehi-dupannya dan saling menyempurnakan martabatnya. Akan tetapi pergaulan dapat menimbulkan masalah, hingga akhirnya dapat menimbulkan kesulitan bagi orang yang bersangkutan Gunarsa & Gunarsa, 1987, p. 36. Pergaulan yang menimbulkan persoal-an dan cenderung terlalu bebas tanpa pengawasan orangtua disebut pergaulan bebas. Anwar, Martunis, dan Fajriani 2019 mengungkapkan ketika anak su-dah masuk dalam pergaulan bebas, si anak akan mengalami kesadaran dan pengontrolan diri yang kurang terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan norma-norma agama, adat istiadat maupun kaidah-kaidah berlaku dalam masyarakat. Selain itu, si anak sering keluar larut malam, bergaul dengan lawan je-nis tanpa adanya batasan, bullying, mengakses kon-ten pornografi, berpenampilan tidak sesuai dengan umur, melanggar aturan sekolah dan sejenisnya. Pergaulan bebas berdampak pada hubungan seks bebas di kalangan remaja dan pemuda. Penga-ruh pergaulan bebas menentukan, dimana kadang awalnya hanya mencoba-coba, lama-kelaman menja-di ketagihan dan terbiasa. Ketika pergaulan itu me-nyediakan gambar atau tulisan berbau seks, akan meningkatkan secara langsung nafsu dari seseorang. Nah, jika tidak dibekali dengan pengetahuan menge-nai seks dan dibentengi dengan moral, maka nafsu birahi yang ia miliki dapat membawanya untuk me-lakukan aktivitas seks Magdalena, 2010, p. 33. Hal inilah yang dialami oleh MS dan SELS. MS 2019 mengatakan bahwa ia hamil di luar nikah karena dia memiliki pergaulan yang bebas tanpa pengawasan orang tuanya. Ia sering menginap di kost-kostan te-mannya, ia juga sering ke cafe, ia juga sering me-nonton video porno, bahkan ia pernah mencoba shabu-shabu. Pergaulan yang bebas tanpa pengawas-an orang tua juga membawanya kepada hubungan pacaran yang negatif. Selama MS 2019berpacaran, sudah beberapa kali melakukan hubungan intim ber-sama pacarnya sampai pada akhirnya ia hamil. Hal yang serupa juga dialami oleh SELS 2019, karena pergaulan bersama teman-temannya dan lingkungan yang membuat ia terlalu bebas dalam berpacaran sampai pada akhirnya SELS hamil. Selain itu, pergaulan dan lingkungan yang menganggap berciuman antara lelaki dan perempuan adalah hal biasa, termasuk berpegangan tangan, pe-lukan, atau bahkan yang lebih jauh lagi adalah hal yang lumrah, maka akan menganggap semua akti-vitas yang mengarah pada perilaku seks itu biasa sa-ja, dan merasa wajar melakukannya juga. Hal inilah yang dialami oleh SELS 2019. Pembentengan/Pertahanan Diri Kurangnya pembentengan/pertahanan diri da-ri si pemuda juga menjadi salah satu faktor. Rayuan yang diungkapkan oleh si laki-laki pada umumnya tidak mampu ditolak oleh perempuan. Mereka ditipu oleh kebaikan dan perkataan manis yang dilakukan oleh pasangannya. Pemberian uang dan barang-ba-rang terhadap perempuan menjadi salah satu kebaik-an yang diberikan laki-laki pada pasangannya se-hingga dengan itu si perempuan tidak sanggup me-nolak rayuan si laki-laki ES, 2019. Masalah yang terjadi pada perempuan adalah perempuan tidak mampu membentengi dirinya dengan hal-hal dunia-wi dan ketika diwawancarai SELS 2019 mengaku bahwa spritualitasnya juga sangat kurang/jarang per-gi ke gereja. Gaol dan Stevanus 2019 krisis spiri-tualitas sebagai akar dari krisis moralitas. Krisis spi-ritualitas dapat menjadi salah satu awal dari krisis moralitas yang kemudian dapat mengarah pada pe-rilaku seks bebas di kalangan remaja. Zohar dan Marshall 2001 mengatakan spiritualitas yang baik membuat manusia menjadi kreatif untuk hidup dal-am batasan, mampu membedakan, memberi rasa moral, dan mampu menyesuaikan diri dengan aturan dibarengi dengan pemahaman dan cinta pada ba-tasan. Karena itu, dengan spiritualitas yang baik, se-seorang akan sadar bahwa seks itu adalah bagian da-ri anugerah Tuhan. Seks adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada laki – laki dan perempuan yang bersifat agung. Karena anugerah Allah yang 200 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 agung maka seks pertama kali dilakukan sesuai de-ngan waktu yang ditentukan. Menurut Mile2000, p. 106, seks anugerah yang agung itu hanya dapat di-lakukan pada pernikahan. Ia mengatakan bahwa me-lakukan seks dengan bebas sebelum pernikahan ada-lah dosa. Karena hanya di dalam sebuah pernikahan-lah peneguhan janji dari ikatan yang suci antara laki-laki dan perempuan yang menghadirkan seksualitas didalamnya. Seks adalah milik dari sebuah pernikah-an dan inilah yang menunjukkan kemurnian dari se-buah pernikahan Kristen Miles, 2000, p. 106. Keti-ka Allah menciptakan perempuan dan laki-laki da-lam rupanya, ia memberikan kebebasan pada laki-la-ki dan perempuan itu. Allah memberikan kebebasan kepada manusia dan manusia harus bertanggung-ja-wab untuk itu. Kebebasan yang bertanggung-jawab itu harus berdasarkan hukum yang ada, yaitu mem-perhatikan alam, moral, dan Ilahi. Inilah kebebasan yang terberkati. Sama halnya dengan seseorang yang melakukan seks. Seseorang yang tidak mengguna-kan kebebasan yang bertanggungjawab dalam hu-bungan seksnya, maka seks itu bukan menjadi berkat melainkan kutuk. Terbukti dari semakin seseorang itu melakukan hubungan seks secara bebas, maka ia semakin muda mengalami penyakit kelamin dan menghancurkan kesehatannya, keluarganya, dan ke-hidupan sosialnya. Hubungan seksual dan gairah seksual yang tidak terbatas adalah milik pernikahan. Seks adalah karunia Tuhan untuk kebahagiaan manusia. Karena itu seks perlu untuk dipelihara de-ngan baik dan dijunjung, selain itu juga perlu dihor-mati dan dihargai. Sebab ketika meremehkan seks, maka akibatnya ialah kerusakan jasmani dan rohani pada diri sendiri. Suatu sikap hidup yang jelas yang berlandaskan pada perintah Tuhan akan membantu seseorang menegakkan kehidupan yang suci dan mulia Tu’u, 2000, p. 13. Pengetahuan Seksualitas Ketika seorang anak tidak mendapat penge-tahuan tentang seksualitas sejak kecil dari ling-kungan keluarga, yakni orangtua tidak mengajari tentang kegunaan dari anggota-anggota tubuh dan bagaimana ia harus menjaga tubuh terkhusus si pe-rempuan, maka ia akan menganggap anggota-ang-gota tubuh yang ada pada dirinya tidak memiliki ke-khususan waktu untuk digunakan/tidak perlu dijaga terkhusus alat kelaminnya. Sehingga ia dapat me-lakukan hubungan intim bersama pacarnya dengan bebas tanpa memikirkan dampaknya. Hal inilah yang dialami oleh MS 2019 dan ES 2019 yang memang tidak pernah mendapat pengetahuan ten-tang seksualitas dari orang tuanya. Harmadi dan Diana 2020 pendidikan seksualitas sangat perlu untuk bekal bagi si anak memasuki usia remaja ka-rena pada usia remaja minat heteroseksual mereka secara perlahan mengarah kepada orang tertentu dari jenis seks yang berlawanan, mulai dari perhatian yang lebih bersifat genital menuju perhatian yang bersifat erotis. Gaol dan Stevanus 2019 ber-pendapat jika anak-anak tidak diajar pendidikan seks sedini mungkin, maka terjadi kemungkinan besar akan mengarah pada pergaulan bebas, seks bebas, pemerkosaan, sodomi, hamil diluar nikah, aborsi, hi-dup bersama diluar nikah, dan pelanggaran-pelang-garan nilai-nilai moral lainnya. Dengan demikian, remaja memerlukan pendidikan seks, bahkan dapat dimulai sejak masih kanak-kanak. Perkembangan teknologi memudahkan akses informasi sehingga anak-anak dan remaja menjadi rentan terhadap infor-masi yang salah mengenai seks. Pendidikan seks pa-da anak dan remaja dapat memberitahu berbagai pe-rilaku seksual berisiko yang harus dihindari. Pendi-dikan seks harus dianggap sebagai bagian dari pro-ses pendidikan untuk memperkuat pengembangan kepribadian. Menurut Chalke 2007, p. 32, ketika si anak berada dalam tahap masa puber, maka hormon yang dimiliki akan meningkat dan bergejolak di dalam tu-buh serta memerintahkan bagian-bagian tertentu ber-ubah menuju dewasa. Hormon estrogen berfungsi untuk mengendalikan siklus reproduksi anak perem-puan, memerintahkan indung telur melepaskan telur ke leher rahim setiap bulannya. Hormon testosteron berfungsi mengawasi produksi sprema pada anak laki-laki Chalke, 2007, p. 32. Pada anak perem- Theresia Tiodora Sitorus, Implikasi Pembinaan Pemuda Gereja Atas Faktor-Faktor Penyebab …. 201 puan, buah dada mulai berkembang dan mulai tum-buh rambut di ketiak atau pangkal paha mereka. Lalu, mereka mulai menstruasi. Menstruasi menan-dakan anak perempuan sudah mulai dewasa. Per-kembangan anak laki-laki rata-rata lebih lambat satu tahun atau lebih dibandingkan anak perempuan. Tu-buh anak laki-laki mulai bertambah tinggi dan bero-tot, serta tumbuh rambut di wajah dan pangkal paha. Suara mereka membesar, juga testis mereka, mereka pun memasuki dunia ereksi dan ejakulasi. Chalke, 2007, p. 33. Perubahan-perubahan fisik tersebut adalah ba-gian kecil dibanding dengan pengaruh emosional yang dibangkitkan oleh masa puber itu. Kegelisahan, depresi, atau kurangnya rasa kepercayaan diri akan menjadi tantangan emosional yang dihadapi anak pada msa pubertas. Bertemu dengan lawan jenis akan meningkatkan kegelisahan dan hasrat yang se-belumnya tidak pernah memikirkan berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan dan ingin memiliki. Selain itu, dari tidak pernah benar-benar berpikir mengenai seks, mereka tiba-tiba mendapat dirinya selalu memikirkan tentang seks dari keadaan tanpa hasrat, yang kemudian tanpa disangka mereka kini menjadi selalu penuh hasrat Chalke, 2007, p. 34. Seorang perempuan sudah boleh merencana-kan sebuah pernikahan adalah umur 24 tahun karena dianggap sudah matang secara biologis dan jiwa. Pacaran mestinya sudah boleh berlangsung. Sebuah statistik psikologi menyebutkan bahwa pacaran tidak boleh terlalu lama. Lama pacaran ideal itu sekitar dua tahunan. Lebih lama dari itu berisiko putus dan lebih pendek dari dua tahun kemungkinan belum tentu saling menemukan kecocokan untuk hidup ber-sama Nadesul, 2009, p. 44. Hubungan dengan lawan jenis menyentuh suatu dorongan fisik yang sangat kuat dari manusia sehingga menimbulkan banyak pencobaan. Kecen-derungan terulangnya kontak fisik akan semakin ter-jadi jikalau pacaran yang dibangun eksklusif dan tidak sehat. Lelaki dan wanita yang terlibat dalam kontak fisik selama berhubungan dan bahkan penye-lewengan seks itu sulit mengatakan “tidak” apabila ada kesempatan yang terbuka untuk itu. Kebutuhan biologisnya terasa semakin bertambah dan kuat se-kali seolah-olah hal itu telah membius diri mereka sehingga memerlukan pemuasan segera. Jika do-rongan biologis ini tidak terpenuhi dengan cepat, maka sering terjadi salah paham, pertengkaran, ama-rah, rasa mudah tersinggung yang keterlaluan se-hingga tidak jarang menimbulkan kekalapan. Apa-bila terjadi kehamilan yang tidak dapat dipertang-gungjawabkan, maka pada umumnya rasa malulah yang mengguncang batin pihak wanita Tu’u, 2000, p. 20. Jika seseorang pun tidak pernah menolak, maka ketika seseorang memiliki jarak jauh dengan pasangan anda akan menciptakan kerinduan yang di-perlukan oleh seksualitas Towsend & Cloud, 2008, p. 76. Menurut Chalke, orangtua sangat berperan da-lam mendidik anaknya supaya dapat berpacaran de-ngan positif terkhusus memberikan anak-anaknya pendidikan seksual. Pendidikan seksual merupakan salah satu bagian terpenting dari pendidikan biasa Chalke, 2007, p. 19. Banyak orangtua mengatakan bahwa tugas mereka ialah mendidik anak-anak me-reka agar dapat hidup dengan sopan dan suci. Sesuai dengan itu mereka, tidak mau membicarakan soal-soal seks dan seksualitas dengan anak-anak mereka. Tetapi mereka lupa, bahwa sama seperti anak-anak yang lain, demikian pula anak-anak mereka suatu saat ingin mengetahui dari mana datangnya seorang bayi, bagaimana bayi itu dibuat, dan lain-lain. Ka-rena anak-anak mereka tidak mendapat penjelasan dari mereka, anak-anak itu mengusahakan penjelas-an itu dari kawan-kawan mereka – di sekolah atau di luar sekolah – atau dari “stensilan-stensilan gelap” yang dapat mereka peroleh. Hal itu sangat berba-haya, bukan saja karena penjelasan yang mereka peroleh dari kawan-kawan mereka itu tidak selalu benar dan tidak selalu diberikan “dalam bentuk yang sopan”, melainkan juga karena impresi atau penge-tahuan yang salah tentang seks dan seksulitas dapat mempunyai pengaruh yang buruk atas kehidupan seksual mereka. Selain itu, sikap yang negatif dari orang tua terhadap soal-soal seks dan seksualitas da- 202 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 pat memberikan kesan kepada anak-anak, seolah-olah persoalan itu adalah buruk dan kotor, karena itu tidak boleh dibicarakan. Selain itu, sebagian orang tua menerapkan prinsip bahwa anaknya tidak mem-butuhkan pendidikan seksual karena adanya ketakut-an jika terlalu banyak memperoleh informasi tentang pengetahuan seksual maka akan mendorong anak mereka pada melakukan hubungan seks terlalu dini Chalke, 2007, pp. 29–30. Oleh sebab itu, orangtua memilih untuk menunda memberi informasi tentang seks pada anak mereka sampai dirasa bahwa itu ada-lah kebutuhan yang benar-benar mendesak. Pada da-sarnya tujuan mereka baik, tetapi ketika mereka te-tap mungkin justru lebih menjerumuskan daripada membantu anak-anak mereka. Pada sisi lain anak dapat menjadi sangat tidak komunikatif dengan orang tua mereka, terutama yang berkaitan dengan hal pribadi dan membuat mereka malu seperti ma-salah pacaran. Bahkan ada kemungkinan orang tua adalah orang terakhir yang akan mengetahuinya. Ja-di jika orang tua ingin menunggu sampai detik-detik terakhir sebelum merampas kepolosan mereka yang berharga, kemungkinan besar ada orang lain telah le-bih dulu. Ketika orangtua menerapkan prinsip diam adalah emas, maka mereka akan melewatkan bebera-pa kesempatan terpenting dalam membantu mereka menyiapkan masa depan, serta apa yang disebut de-ngan dimulainya proses metamorfosis perlahan dari anak laki-laki atau perempuan menjadi pria atau wanita dewasa. Oleh sebab itu sangat diperlukan se-buah bimbingan yang terbuka dan jujur dari orang tua terhadap seksualitas untuk membantu mereka membuat pilihan-pilihan yang lebih baik, memiliki dasar, dewasa dan bertanggung jawab dalam meng-hadapi tekanan berat dari hormon, teman-teman, dan media. Tanggung jawab orangtua adalah membantu anak mereka memahami serta mampu mengendali-kan keinginan hati dan emosi mereka, memanfaat-kan kekuatan dorongan seksual mereka agar dapat bekerja untuk mereka Chalke, 2007, p. 31. Sujar-wati, Yugistyowati, Haryani2014 menjelaskan bahwa setiap orang tua berhak memberikan pemaha-man tentang seksual kepada anaknya dan mengajar-kan fungsi dari alat reproduksi yang ada pada tubuh manusia. Dari hal ini anak remaja dapat memahami perilaku seksual yang tepat dan dapat mengem-bangkan perilaku seksual yang sehat. Faktor Teknologi Illua dan Masihoru 2020 menjelakan bah-wa terkontaminasi dengan teknologi yang memiliki daya kecepatan tinggi untuk menyebarkan berita po-sitif dan berita negatif yang sangat berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah. Teknologi yang semakin berkembang pesat menjadi faktor terakhir dari penyebab pacaran yang negatif di kalangan pe-muda yang mengakibatkan hamil di luar nikah. Mu-lai dari adanya telepon genggam, televisi, radio, bah-kan internet, membuatnya cepatnya infomasi menge-nai seksualitas beredar. Bukan hanya itu, internet juga banyak menyediakan video-video yang dapat memicu syaraf seseorang dalam seksual dan ingin melakukannya dengan pasangannya. Siagian 2019 dengan beredarnya VCD dan majalah-majalah porno yang diperdagangkan begitu bebas disembarangan tempat, dapat membuat anak memperoleh sesuatu pengetahuan yang tidak benar dan ironisnya mereka akan cenderung mempraktekkan apa yang mereka baca dan tonton. Hal ini yang terjadi pada ARS 2017. Selain itu, teknologi juga dapat membuat se-seorang yang tidak dikenal menjadi dikenal bahkan berlangsung pada hubungan pacaran yang sebenar-nya si perempuan belum mengenal secara dalam dari karakter si laki-laki. Hal ini terjadi pada kasus ES 2019. Implikasi Bagi Pembinaan Pemuda Gereja Mencermati faktor-faktor penyebab terjadi-nya hamil di luar nikah pada pemuda gereja maka perlu pembinaan yang holistik, implikasinya bagi pembinaan pemuda gereja adalah Komunitas Tumbuh Bersama Komunitas Tumbuh Bersama KTB meru-pakan sekelompok orang yang menyadari akan kasih karunia Allah dalam hidup mereka. Komunitas ini Theresia Tiodora Sitorus, Implikasi Pembinaan Pemuda Gereja Atas Faktor-Faktor Penyebab …. 203 kemudian bertemu untuk belajar firman Tuhan, ber-bagi pengalaman, saling mendukung dan mendoakan dalam pemulihan karakter yang lebih baik dan ber-tumbuh sesuai dengan nilai-nilai Kekristenan. Ko-munitas Tumbuh Bersama ini dibuat oleh gereja atas hasil musyawarah antara pendeta dan majelis gereja untuk para pemuda gereja. Komunitas ini ada de-ngan tujuan menambah kegiatan-kegiatan yang posi-tif bagi pemuda gereja di luar lingkungan keluarga dan sekolah daripada menghabiskan waktu berdua bersama pacar. Selain itu, KTB ini juga dapat men-jadi sarana/tempat bagi pemuda dalam mengaktuali-sasikan bakat dan potensi, serta dapat memperkuat rasa persaudaraan antar sesama pemuda yang ada di gereja tersebut. Kegiatan-kegiatan positif dalam KTB ini dapat berupa diskusi, sharing, games, dan retreat rohani dengan mengkhususkan topik bagai-mana pemuda harus bersikap bijak dalam mengen-dalikan pikiran dan emosi terhadap orang tuanya, terhadap pergaulannya, terhadap spiritualitasnya, dan juga bersikap bijak dan kreatif dalam meman-faatkan teknologi-teknologi yang ada. Secara teoritis, KTB dapat berfungsi sebagai wadah pemuridan yang bertujuan agar anggota ke-lompok dapat menyadari karunia Allah melalui pen-dalaman Alkitab, kemudian berbagi pengalaman, memberikan dukungan dan doa sehingga akhirnya menjadi serupa dengan Kristus Panuntun & Para-mita, 2019. Melalui KTB, pemuda Kristen juga da-pat diarahkan untuk terus bertumbuh secara karakter yang mengarah pada Kristus sehingga dapat memi-nimalkan permasalahan pacaran yang tidak sehat dan hamil di luar nikah. Harmadi dan Diana 2020 melihat bahwa masalah perilaku seksual pada pe-muda perlu ditangani dengan memberikan pembi-naan iman Kristen sehingga mereka dapat bertum-buh secara rohani. Jika demikian maka KTB dapat dipilih sebagai cara pembinaan pemuda untuk me-nangani permasalahan pacaran yang berpotensi me-ngarah pada terjadinya masalah hamil di luar nikah. Pembinaan melalui KTB dapat dikategori-kan sebagai bagian dari pembinaan warga jemaat yang holistik. Nugroho 2017 berpendapat bahwa berbagai permasalahan yang terjadi di dalam gereja perlu ditangani melalui pembinaan yang holistik. Menurut Nugroho, gereja perlu mulai melibatkan kaum awam dalam pembinaan melalui kelompok-kelompok kecil. Tentunya harus dilakukan dengan memperlengkapi mereka terlebih dahulu. Pola ini sejalan dengan penjelasan Darmawan 2017, 2019 tentang konsep pemuridan yang tergambar dalam Matius 2819-20 dan mengarah pada terjadinya per-tumbuhan rohani jemaat. Dengan diskusi dan penda-laman nilai-nilai Kristen sebgaimana ditekankan da-lam Alkitab, maka pemuda Kristen dapat diarahkan mengalami perubahan pola pikir dan pertumbuhan rohani. Katarina dan Darmawan 2019 menjelaskan bahwa pemahaman Alkitab yang mendalam dapat mengarahkan pada terjadinya pembentukan karakter dan rohani yang dewasa. Dengan demikian, pemuda dapat menjadi lebih siap menghadapi tantangan ma-sa muda mereka. Seminar Iman Kristen Seminar iman Kristen adalah sebuah bentuk pengajaran yang berdasarkan nilai-nilai Kekristenan. Tujuan seminar ini adalah untuk menambah wa-wasan dan pengetahuan. Seminar iman Kristen ini dibuat oleh gereja dan ditujukan kepada dua kate-gorial, yakni pemuda dan orangtua. Pertama, se-minar iman Kristen kepada pemuda. Tema-tema yang diseminarkan adalah yang berkaitan dengan kehidupan pemuda seperti dampak dari pergaulan bebas, bijak dan kreatif dalam berteknologi, masalah narkoba, dan pacaran menurut nilai-nilai Kekristen-an. Seminar tentang citra diri juga perlu dilakukan, sebab menurut penelitian Sitanggang dan Juantini 2019, masalah di lingkungan pemuda dapat dise-babkan karena adanya citra diri yang buruk. Tafonao 2018 menekankan bahwa ada peran penting gem-bala untuk membantu pemuda mengalami pertum-buhan rohani. Dalam hal ini gembala dapat mem-bantu menjawab kebutuhan rohani pemuda melalui penyelenggaraan seminar iman Kristen. Kedua, seminar iman Kristen kepada orang tua. Seminar kepada orangtua mengundang para 204 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 orang tua pemuda gereja dengan beberapa topik se-perti pemuda dan lingkungan, pentingnya pendidik-an seks, dan peranan dan tanggungjawab orangtua kepada anak. Diana 2019 menjelaskan bahwa ada singifikansi tanggung jawab orang tua dalam men-didik anak menghadapi berbagai perkembangan tek-nologi yang menyediakan berbagai kemudahan. Itu sebabnya orang tua perlu dipersiapkan menghadapi perkembangan dalam kaitannya dengan pendidikan anak mereka. Walean 2018 menjelaskan bahwa dalam pembinaan di gereja, pengajaran iman Kristen umumnya dilaksanakan melalui katekisasi. Tetapi ji-ka mencermati penjelasan Nugroho 2017 bahwa pembinaan warga gereja harus dilakukan secara ho-listik maka seminar iman Kristen dapat dipilih se-bagai bentuk pembinaan pemuda. Personal Care Personal care dalam hal ini lebih mengarah kepada konseling dan pelayanan pastoral yang dila-kukan pendeta dan majelis gereja yang sebelumnya sudah dibekali tentang strategi dalam konseling. Per-sonal care ini lebih ditujukan kepada orang tua de-ngan fokus bagaimana seharusnya orang tua bersi-kap dan mendidik anaknya. Dalam beberapa kasus, permasalahan moral umumnya mengarah pada terjadinya tindakan diskri-minasi pada orang yang bermasalah. Padahal dalam masalah seperti ini orang yang bermasalah membu-tuhkan dukungan orang lain sehingga dapat menjadi sadar dan kembali bertumbuh dalam pengenalan akan Allah. Itu sebabnya dalam pembinaan terhadap pemuda yang bermasalah dalam kasus hamil di luar nikah, perlu tindakan kepedulian dari gereja agar mereka dapat terus bertumbuh. Dalam hal ini ten-tunya tidak mengabaikan sanksi disiplin gereja. Tindakan personal care dapat dilakukan de-ngan mengadakan perkunjungan pastoral. Penelitian Widiyanto dan Susanto 2020 menunjukkan bahwa perkunjungan pastoral dapat membantu jemaat mengalami pertumbuhan rohani. Jika demikian, pembinaan melalui perkunjungan dapat diarahkan untuk membantu orang tua menjalankan perannya sebagai ayah/ibu yang dapat menjadi sahabat bagi diri anak-anak itu, tindakan pastoral juga dapat menjadi kesempatan untuk membantu menjembatani masalah komunikasi antara anak dan orang tua. Dengan demikian dapat diminimalkan permasalah pacaran yang tidak baik dan yang mengarah para perilaku seks di luar nikah. Silabus Khusus Tentang Seksualitas Mencermati masalah yang terjadi sebagai-mana digambarkan di atas maka dapat dibuat silabus katekisasi khusus tentang seksualitas menurut iman Kristen dalam katekisasi sidi. Setiap anggota gereja HKBP akan menjalani masa katekisasi sebelum di sidi. Masa ini dapat menjadi masa pembinaan pe-muda sehingga dapat memperlengkapi pemuda HKBP menjadi pemuda Kristen yang dewasa secara rohani. Leuwol 2018, p. 32 mengungkapkan bahwa katekisasi perlu dilakukan bagi pemuda yang akan menjalani sidi agar dapat membantu pemuda me-mahami iman Kristen yang kemudian ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Leuwol de-ngan katekisasi yang baik, pemuda Kristen dapat dipersiapkan menjadi lebih dewasa secara rohani dan akhirnya merealisasikan imannya dalam kehi-dupan sehari-hari. Dalam mencermati masalah yang digambarkan di atas, maka menurut penulis perlu se-buah katekisasi yang khusus membahas tentang seksualitas sehingga iman Kristen direalisasikan da-lam kehidupan pergaulan pemuda. Picanussa 2019, p. 12 mengungkapkan bahwa pendidikan dalam gereja berfungsi untuk membina warga gereja bertumbuh secara iman dan kehidupan kristiani. Oleh sebab itu, Picanussa meng-ungkapkan bahwa perlu sebuah kurikulum yang da-pat menjadi acuan agar proses pembinaan dapat dija-lankan dengan terarah dan sesuai tujuan pendidikan dalam gereja. Secara umum, silabus merupakan ren-cana pembelajaran pada suatu kelompok yang men-cakup standar kompotensi, kompotensi dasar, materi pokok/pembelajaran, dan metode pembelajaran. Un-tuk silabus dalam katekisasi sidi di gereja biasanya Theresia Tiodora Sitorus, Implikasi Pembinaan Pemuda Gereja Atas Faktor-Faktor Penyebab …. 205 membicarakan materi tentang isi Alkitab, dogma gereja, sejarah gereja, dan peribadahan. Silabus da-lam katekisasi sidi dibuat oleh katekumen penga-jar/majelis gereja. Tetapi dalam tulisan ini penulis menawarkan adanya silabus khusus yang berisikan materi seksualitas menurut iman Kristen. Tujuan da-ri materi ini agar pemuda dapat mengetahui bentuk seksualitas yang wajar dilakukan sebagai pemuda Kristen dan agar pemuda dapat menjaga sikap dalam berpacaran. Berikut penulis menyertakan contoh to-pik-topik dari materi seksualitas menurut iman Kris-ten yang dapat dibuat di katekisasi sidi gereja 1 Pe-ngertian seks dan seksualitas, 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi seksualitas, 3 Seksualitas bagi pe-muda, 4 Seks dalam pola ciptaan Allah, 5 Seks da-lam pernikahan, 6 Seks di luar pernikahan, 7 Hu-bungan antara kasih dan seks, 8 Kesucian dan ke-sopanan menurut Alkitab. KESIMPULAN Pacaran yang ditinjau dari segi iman Kristen adalah sebuah relasi yang lebih dari sekedar teman untuk dapat saling mengenal sebelum masuk kepada tahap pernikahan. Tujuan utama dari pacaran itu adalah untuk mengenal lebih dalam bagaimana pola pikir dan karakter dari pasangan. Dalam proses pa-caran itu juga akan terlihat bagaimana kesungguhan seorang laki-laki menyayangi seorang perempuan dan bagaiman tanggung jawab dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan sebelum menjadikannya seorang istri. Pacaran yang ditinjau dari segi iman Kristen juga adalah hubungan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam kerangka kasih Allah itu sendiri. Oleh karena itu, apapun alasannya, di luar kerangka rumah tangga antara suami dan istri, hubungan seks tidak boleh dilakukan. Hubungan seks hanya boleh dilakukan ketika sudah memasuki tahap pernikahan dan fungsi utamanya adalah meng-hasilkan keturunan Kej. 128. Tujuan pacaran yang ditinjau dari segi iman Kristen, adalah pacaran bu-kanlah sarana pemuasan nafsu, pacaran bukan se-kedar pemberi motivasi belajar atau bekerja, pacaran bukan untuk mengisi kesepian, dan pacaran bukan sekedar free-life tanpa arah yang jelas. Dari faktor masalah yang ditemukan, maka implikasi yang penulis kemukakan bagi pembinaan pemuda gereja adalah 1 Perlu dilaksanakan KTB sebagai upayan pembinaan pendalaman Alkitab dan rohani; 2 Perlu penyelenggaraan seminar iman Kris-ten yang menjawab kebutuhan rohani pemuda ge-reja. Seminar ini juga perlu melibatkan orang tua agar dapat membangun pengertian bersama; 3 Perlu personal care melalui konseling dan pelayanan pas-toral yang dilakukan pendeta dan majelis gereja yang sebelumnya sudah dibekali tentang strategi da-lam konseling. Personal care ini lebih ditujukan ke-pada orang tua dengan fokus bagaimana seharusnya orang tua bersikap dan mendidik anaknya. Melalui pola ini diharapkan ada mediator yang menjemba-tani persoalan komunikasi antara pemuda dengan orang tua; 4 Perlu pembuatan silabus katekisasi khusus tentang seksualitas. Setiap anggota HKBP akan menjalani katekisasi sebelum sidi. Proses ini dapat menjadi bagian dalam pembinaan pemuda se-hingga dapat membangun kesadaran hidup kudus dan perilaku seks yang Alkitabiah. DAFTAR PUSTAKA Andriani, H. 2014. Pergaulan Bebas di Kalangan Remaja yang Mengkhawatirkan [KOM-PASIANA]. Retrieved 3 March 2020, from Edukasi website com/harniandriani/54f93d6aa3331112678b4c33/pergaulan-bebas-di-kalangan-remaja-yang-mengkhawatirkan Anggito, A., & Setiawan, J. 2018. Metodologi penelitian kualitatif. Sukabumi CV Jejak Jejak Publisher. Anwar, H. K., Martunis, M., & Fajriani, F. 2019. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pergaulan Bebas Pada Remaja Di Kota Banda Aceh. JIMBK Jurnal Ilmiah Maha- 206 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 siswa Bimbingan & Konseling, 42. Retrie-ved from view/10065 ARS. 2017, February 15. Apa Faktor Penyebab Seks Di Luar Nikah? Chalke, S. 2007. Orang tua, Anak dan Seks. Yogyakarta Andi Offset. Darmawan, I. P. A. 2017. Murid yang Memu-ridkan. In Melaksanakan Amanat Agung Di Abad 21. Ungaran Sekolah Tinggi Teologi Simpson. Darmawan, I. P. A. 2019. Jadikanlah Murid Tugas Pemuridan Gereja Menurut Matius 2818-20. Evangelikal Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, 32, 144–153. DeGenova, M. K., Rice, F. P., Stinnett, N., & Stinnett, N. 2010. Intimate Relationships, Marriages, and Families 8 edition. New York, NY McGraw-Hill Education. Diana, R. 2019. Prinsip Teologi Kristen Pen-didikan Orang tua terhadap Anak di Era Revolusi Industri BIA’ Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen Kontekstual, 21, 27–39. ES. 2019, February 18. Faktor Penyebab Mengapa Sampai Terjadi Hamil di Luar Nikah. Gaol, S. M. M. L., & Stevanus, K. 2019. Pen-didikan Seks Pada Remaja. FIDEI Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika, 22, 325–343. Gunarsa, Ny. Y. S. D., & Gunarsa, S. D. 1987. Psikologi untuk muda mudi Vol. 1987. Jakarta BPK Gunung Mulia. Harmadi, M., & Diana, R. 2020. Tinjauan Psiko-Teologi Terhadap Fenomena Kekerasan Dalam Pacaran Pada Remaja. Evangelikal Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, 41, 92–102. Illu, W., & Masihoru, O. 2020. Upaya Gereja Dalam Pembinaan Usia Remaja Yang Melakukan Hubungan “Free Seks”. Missio Ecclesiae, 91, 1–19. Katarina, K., & Darmawan, I. P. A. 2019. Implikasi Alkitab dalam Formasi Rohani pada Era Reformasi Gereja. EPIGRAPHE Jurnal Teologi Dan Pelayanan Kristiani, 32, 81–93. Leuwol, N. V. 2018. Pendidikan Katekisasi Kepada Remaja Di Jemaat GKI Kasih Perumnas Sorong. J-DEPACE Journal of Dedication to Papua Community, 11, 32–41. Magdalena, M. 2010. Melindungi anak dari seks bebas. Jakarta Gramedia Widiasarana Indonesia. Mathews, K. 2005. Genesis 1127-5026 An Exegetical and Theological Exposition of Holy Scripture. Nashville, Tenn. Holman Reference. Miles, H. J. 2000. Sexual Understanding Before Marriage. Michigan Zondervan Publishing Company. MS. 2019, February 14. Faktor Penyebab Menyetujui Berhubungan Seks. Nadesul, H. 2009. Kiat Sehat Pranikah. Jakarta Penerbit Buku Kompas. Nugroho, F. J. 2017. Pendampingan Pastoral Holistik Sebuah Usulan Konseptual Pembinaan Warga Gereja. Evangelikal Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, 12, 139–154. Oden, T. C. Ed.. 2006. Ancient Christian Commentary on Scripture CD-ROM, Volume 1. Altamonte Springs, Fla IVP Academic. Pangaribuan, A. Ch. V. 2015. Konseling Pastoral untuk Pranikah dan Keluarga. Pematangsiantar L-SAPA. Panuntun, D. F., & Paramita, E. 2019. Hubungan Pembelajaran Alkitab Terhadap Nilai-Nilai Hidup Berbangsa Dalam Pemuridan Kontekstual Kelompok Tumbuh Bersama Kontekstual. Jurnal Gamaliel Teologi Praktika, 12, 104–115. Theresia Tiodora Sitorus, Implikasi Pembinaan Pemuda Gereja Atas Faktor-Faktor Penyebab …. 207 Picanussa, B. E. 2019. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Kristiani. Voice of Wesley Jurnal Ilmiah Musik dan Agama, 31, 1–15. Purwanto, H. 2016. Manfaat Penelitian Untuk Perkembangan Gereja. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Agama Kristen STT Simpson Tahun 2016 Tema Strategi Pembinaan Jemaat Untuk Meningkatkan Kehidupan Jemaat. Presented at the Seminar Nasional Pendidikan Agama Kristen & call for papers, Ungaran. SELS. 2019, February 21. Faktor Penyebab Seks di Luar Nikah hingga Hamil. Siagian, F. 2019. Penyalahgunaan Seks Dikalangan Pemuda Dalam Perspektif Al Kitab Menurut I Korintus 612-20. Syntax Literate ; Jurnal Ilmiah Indonesia, 45, 44–63. Sitanggang, M. H., & Juantini, J. 2019. Citra Diri Menurut Kejadian 126-27, Dan Aplikasinya Bagi Pengurus Pemuda Remaja GPDI Hebron-Malang. Evangelikal Jurnal Teologi Injili Dan Pembinaan Warga Jemaat, 31, 49–61. Sujarwati, S., Yugistyowati, A., & Haryani, K. 2014. Peran Orang Tua dan Sumber Informasi dalam Pendidikan Seks dengan Perilaku Seksual Remaja pada Masa Pubertas di SMAN 1 Turi. Jurnal Ners Dan Kebidanan Indonesia, 23, 112–116. Tafonao, T. 2018. Peran Gembala Sidang Dalam Mengajar Dan Memotivasi Untuk Melayani Terhadap Pertumbuhan Rohani Pemuda. Evangelikal Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, 21, 36–49. Towsend, J., & Cloud, H. 2008. Intimacy, Sex, and God. Yogyakarta Gloria Graffa. Tu’u, T. 2000. Etika dan Pendidikan Seksual. Bandung Yayasan Kalam Hidup. Viviano, P. A. 2002. Kejadian 2915-30. In Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta Kanisius. Walean, J. 2018. Kateketika Dalam Sejarah Pemikiran Pedagosis Kristen. Evangelikal Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, 22, 105–114. Widiyanto, M. A., & Susanto, S. 2020. Pengaruh Pelayanan Kunjungan Pastoral Terhadap Pertumbuhan Rohani Jemaat. Evangelikal Jurnal Teologi Injili Dan Pembinaan Warga Jemaat, 41, 39–46. Zaluchu, S. E. 2020. Strategi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian Agama. Evangelikal Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, 41, 28–38. Zohar, D., & Marshal, I. 2001. SQ;Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dan Berfikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan III; R. Astuti, Trans.. Bandung Mizan. Deslinawati TelaumbanuaTitik HaryaniAsih Rachmani Endang SumiwiThe social challenges experienced by Christian youth are very difficult and important challenges, they are faced with a cruel world that provides everything that can destroy them if they can't use and use it well. The purpose of this study is to explain the meaning of association according to 1 Corinthians 1533-34 and to explain the application of the meaning of association according to 1 Corinthians 1533-34 for today's Christian youth. This study uses qualitative research that uses a hermeneutic approach. The conclusion of this study is, Christian youth should not be easily deceived, avoid destructive associations, have good moral character to live righteously, be aware of sin, know God, and pay attention and care for those around pergaulan yang dialami oleh pemuda Kristen merupakan tantangan yang sangat sulit dan penting, mereka diperhadapkan dengan dunia yang kejam yang menyediakan segala sesuatu yang bisa menghancurkan mereka apabila tidak bisa menggunakan dan memanfaatkannya dengan baik. Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan tentang makna pergaulan menurut 1 Korintus 1533-34 dan untuk menjelaskan aplikasi makna pergaulan menurut 1 Korintus 1533-34 bagi pemuda Kristen masa kini. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang memakai pendekatan hermeneutika. Kesimpulan penelitian ini adalah, pemuda Kristen jangan mudah dibohongi, menghindari pergaulan yang merusak, memiliki karakter moral yang baik untuk hidup benar, sadar terhadap dosa, mengenal Allah, dan memperhatikan serta peduli terhadap orang Enci PatandeanIskandar IskandarThe author discusses the implementation of the early church ministry pattern in Acts 241-47 to the unity movement of the body of Christ during the pandemic. The situation experienced by humans today, the author feels that this issue is important to discuss. The method used by the author is a qualitative method with a thematic descriptive approach. The condition of the early church they lived in one heart and soul; even though they were many, they lived in unity, sharing. Not only that, but they are also getting closer to the Lord Jesus; the early church service pattern was applied in fostering the faith of the congregation to become more mature during the pandemic. Abstrak Penulis membahas implementasi pola pelayanan gereja mula-mula dalam Kisah Para Rasul 241-47 terhadap gerekan kesatuan tubuh Kristus masa pandemi. Keadaan yang dialami oleh manusia saat ini, penulis merasa bahwa isu ini penting untuk dibahas. Metode yang digunkan penulis adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif tematis. Keadaan jemaat mula-mula mereka hidup sehati, sejiwa, meskipun mereka jumlah yang banyak, mereka hidup kompak, saling berbagi satu sama lainnya. Bukan hanya itu saja mereka juga semakin dekat dengan Tuhan Yesus, pola pelayanan jemaat mula-mula diterapkan dalam membina iman jemaat agar semakin dewasa dimasa Dabora SagalaThia MonikaElsha Triani Ibi DesiThe lives of today's teenagers determine the future of a nation because teenagers are the nation's future assets. However, recently juvenile delinquency behavior is often very concerning. Amid this situation, the role of Christian educators is very much needed to foster and guide teenagers so that they have good character. The formulation of the problem in this paper is what is the role of Christian religious teachers in the church in preventing juvenile delinquency? So the purpose of this study was to determine the role of Christian religious teachers in the church in preventing juvenile delinquency. This study uses a library research approach. From this research, the results are, first, Christian educators play a role in implementing Christian hospitality. This means that Christian educators should love teenagers and make it happen by providing motivation and encouragement to teenagers to become good people. Second, play a role in conducting counseling guidance. Counseling carried out on adolescents is expected to provide true knowledge about God and satisfaction in receiving the counseling service. Third, play a role in developing youth talents. Because of this role, teenagers can develop the talents that exist in themselves and teenagers can do more positive and good activities. Fourth, make discipleship of the youth. Because teenagers must be guided to stay centered on Jayanti TanamaAgnes Monica HalawaVictor DeakPergaulan bebas remaja yang tidak terkontrol mengakibatkan bayaknya kasus aborsi, berdasarkan data Indonesia menempati urutan ke 4 di dunia. Keluarga memiliki peranan penting dalam mempengaruhi kehidupan anak-anaknya baik itu dalam kerohanian, seksual, sosial, dan prestasi. Orangtua sejak dini harus mengajarkan anak-anaknya untuk membaca Alkitab, berdoa, dan beribadah. Orang tua juga memiliki tanggung jawab yaitu mengajarkan pendidikan seksual dan mendidik anak-anak untuk menyadari bahwa tubuhnya adalah Bait Suci. Remaja yang sudah terlanjur jatuh dalam free sex yang menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan perlu dilakukan konseling, pendampingan, dan penguatan iman. Rumah RUTH berdiri untuk menjawab apa yang dibutuhkan remaja yang hamil di luar nikah, wanita yang mengalami kekerasan seksual, anak yang batal aborsi, dan anak yang terlantar. Tujuan dari penelitian ini untuk membagikan kasih dan sukacita bersama anak-anak di Rumah SitokiIran MorenteMilka Elsin Ermin Alperiana MosooliMasalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah adanya realita perilaku seks bebas pada remaja di lingkungan Gereja Anugerah Bentara Kristus GABK Jemaat Hosana Boluni. Tujuan penelitian adalah untuk 1 mengetahui apakah apa saja peran gereja dalam mengatasi perilaku seks bebas remaja; 2 bagaimana persepsi pengambil kebijakan dan orang tua di gereja mengenai pendidikan seks untuk mengatasi perilaku seks bebas pada remaja. Penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif, teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, dan data dianalisa menggunakan teknik reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Setelah melakukan penelitian, penulis menemukan bahwa Pertama, upaya yang telah dilakukan oleh gereja baru sebatas 1 mengajarkan firman Tuhan, 2 Memberikan nasihat kepada remaja. Kedua, secara umum pendeta, majelis gereja, dan orang tua belum memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik mengenai pendidikan seks untuk yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah adanya realita perilaku seks bebas pada remaja di lingkungan Gereja Anugerah Bentara Kristus GABK Jemaat Hosana Boluni. Tujuan penelitian adalah untuk 1 mengetahui apakah apa saja peran gereja dalam mengatasi perilaku seks bebas remaja; 2 bagaimana persepsi pengambil kebijakan dan orang tua di gereja mengenai pendidikan seks untuk mengatasi perilaku seks bebas pada remaja. Penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif, teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, dan data dianalisa menggunakan teknik reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Setelah melakukan penelitian, penulis menemukan bahwa Pertama, upaya yang telah dilakukan oleh gereja baru sebatas 1 mengajarkan firman Tuhan, 2 Memberikan nasihat kepada remaja. Kedua, secara umum pendeta, majelis gereja, dan orang tua belum memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik mengenai pendidikan seks untuk DomaFilmon Gusti TansiBagian penelitian ini bertujuan untuk melakukan pendetakan kontekstual terhadap budaya Wor Gei yang terdapat di Desa Mataru Selatan guna menjangkau orang-orang yang masih belum mengenal akan Yesus Kristus secara peribadi. Budaya dalam kegiatan Wor Gei sebenarnya kalau ditempat lain sama dengan kegiatan bakar batu bata yang akan di jadikan bahan untuk membangun. Meskipun demikian dengan adanya budaya Wor gei dapat menjadi sarana untuk melakukan pendekatan secara langsung kepada masyarakat untuk memberitakan Injil, terlebih dalam kegiatan Wor gei tidak hanya sekedar bakar batu saja ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan dan disitulah menjadi suatu kesempatan untuk memberitakan Injil kepada masyarakat yang menghadiri kegiatan tersebut. Budaya Wor Gei merupakan suatu kebiasaan masyarakat di Desa Mataru Selatan secara turun temurun, dengan adanya budaya bakar batu bata masyarakat bisa berkumpul, bergotong-royong dan dapat berbagi pengalaman hidup. Dengan adanya budaya Wor Gei dapat dijadikan sarana atau fasilitas dalam melakukan pendekatan secara persuasif atau bisa dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pendekatan terhadap budaya Wor Gei di Desa Mataru Selatan merupakan cara yang efektif untuk melakukan penjangkauan terhadap masyarakat yang belum percaya kepada Kristus secara EmiyatiAyu Rotama SilitongaNi Kadek Sri WidyawatiService to Christian teenagers is essential for faith growth. Adolescents are in a phase or situation that is difficult to deal with because of developments or the effects of changing times, both positive and negative changes. The need for service to adolescents because in this phase teenagers begin to form their mindset and there is a feeling of needing or wanting to be cared for. Therefore, an approach is needed in providing contextual services to Christian adolescents. The question is how can a servant approach contextually to Christian teenagers? This paper aims to understand and understand several approaches that need to be taken in order to provide contextual service to Christian adolescents. The method used is qualitative by interviewing or direct observation to examine and understand the attitudes, views, feelings and behavior of an individual or group of people. Then this writing also uses the literature method to support writing through various journals and books. AbstrakPelayanan kepada remaja Kristen begitu penting guna pertumbuhan iman. Remaja ada dalam fase atau situasi yang sulit dihadapi karena perkembangan atau pengaruh perubahan jaman baik perubahan secara positif maupun perubahan secara negative. Perlunya pelayanan kepada remaja dikarenakan pada fase ini remaja mulai terbentuk pola pikirnya dan ada perasaan membutuhkan, ingin diterima dengan baik, ingin diperhatikan, dipuji dan ingin dipedulikan. Dalam melayani remaja yang juga penuh ego diperlukan beberapa pendekatan dalam melakukan pelayanan kontekstual. Yang menjadi pertanyaan ialah apa saja pendekatan yang dilakukan oleh pelayan Tuhan sehingga dapat menjalankan pelayanan kontekstual dengan lancar kepada remaja Kristen? Tulisan ini memiliki tujuan yaitu pelayan memahami dan mengerti beberapa pendekatan yang perlu dilakukan guna melakukan pelayanan kontekstual kepada remaja Kristen. Adapun metode yang digunakan ialah kualitatif dengan mewawancarai atau pengamatan secara langsung untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu atau sekelompok orang. Kemudian penulisan ini juga menggunakan metode kepustakaan atau literature dengan melakukan observasi terhadap buku – buku dan jurnal untuk mendukung penulisan dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan Satria SitokiJunni YokimanNanchy Lepong BulanThe problem of delinquency is a social problem thet can ruin public relationships and unsavory attitudes. The purpose of this study is to learn how the church plays a role in overcoming Christian delinquency on mount moriah. In this study, the authors examined the problem using qualitative methods to approach case studies to field exploration in order to gain greater knowledge in a given situation or ini a case. The authors use several sources such as, books, journals, ang media as sources of information. As for the results of the study, the authors find that the church is not yet fully responsible and properly for the young. Among the problems involted was delinquency. This has had a negative effect on the development of a youth in his youth. For this the church must take an active role in overcoming Christian delinquency. Thus the writer sees the topic of the church’s role in overcoming Christian delinquency as highly relevant and contained in a work of Saria HaritaDavid Eko SetiawanDaniel Irwanto SinabaribaKarima BuuloloThe purpose of this research is to describe Biblical Sexuality in Christian Adolescents as an Effort to Form Church Citizens. This is because adolescence is a transitional period, namely the transition from childhood to adulthood. At this age they also have wants and needs that must be met, such as being greeted, valued as a complete person and invited to exchange ideas like adults and their physical changes also change. The closure of parents to children about sex can also make children take the initiative themselves to find out the answers to their peers and supported by a lack of understanding of sexuality in a biblical manner can encourage them to have premarital sex. The author will answer research problems using the literature method. And based on research results, biblical sexuality can only be done when blessed in a holy marriage. Therefore, the role of the church in coaching is very necessary and can be done through KTBK, Christian faith seminars and personal penelitian ini adalah untuk menguraikan Seksualitas Alkitabiah Pada Remaja Kristen Sebagai Upaya Pembinaan Warga Geraja. Hal ini dikarenakan masa remaja merupakan masa transisi, yaitu masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada usia ini juga mereka memiliki keinginan dan kebutuhan yang harus dipenuhi, seperti disapa, dihargai sebagai pribadi yang utuh dan diajak bertukar pikir layaknya orang dewasa serta fisiknya juga mengalami perubahan. Ketertutupan orang tua terhadap anak mengenai seks juga dapat menjadikan anak berinisiatif sendiri untuk mencari tahu jawabannya kepada teman-teman sebayanya dan didukung dengan kurangnya pemahaman seksualitas secara Alkitabiah dapat mendorong mereka untuk melakukan hubungan seks pranikah. Penulis akan menjawab masalah penelitian dengan menggunakan metode kepustakaan. Dan berdasarkan hasil penelitian, seksualitas secara Alkitabiah hanya bisa dilakukan ketika diberkati dalam pernikahan suci. Oleh karena itu, peran gereja dalam pembinaan sangat diperlukan dan dapat dilakukan melalui KTBK, seminar iman Kristiani dan pelayanan ongoing COVID-19 pandemic has caused countless impacts and influences on human life. It disturbs the order of life and macro and micro-economics, drastically and radically changes human cultural and behavioral patterns, and greatly impacts the concepts of church theology, pastoring, and ministry. This study is a descriptive qualitative study on the COVID-19 and normal & abnormal reactions & responses to it. Through this article, the authors observed that the COVID-19 existence has transformed and recorrected the Christian paradigm on 1 ecclesiology, which to date exclusively based on building to the real Church, namely God’s people in the form of house/“tent” churches; 2 digital media utilization in this Society era as God’s grace to all humanity. Findings and changes in society through renewable technology are an inseparable part of the pandemic. A dichotomic gap of understanding between science and technology for centuries should be reformulated. New technological inventions and social media created by humans are media in the hands of God that should be utilized by the Church to minister in various categories to improve the quality of ministry and service; and 3 creative and innovative interpretation of threefold responsibilities of the Church koinonia, diakonia, and martyria. Mikha Agus WidiyantoS SusantoThis research aim to test the influence of pastoral visiting ministry to the spiritual growth of the church. Research executed in Gereja Kemah Injil Indonesia of Tenggarong, Kutai Kartanegara District, Kalimantan East. The results showed that there was an influence of pastoral visiting ministry on the spiritual growth of the congregation as indicated by the correlation coefficient of which was significant at α = Pastoral visiting ministry will bring the pastor closer to the congregation that he serves, making the pastoral ministry effective, thereby impacting the spiritual growth of the congregation. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pelayanan kunjungan pastoral terhadap pertumbuhan rohani dilaksanakan di Gereja Kemah Injil Indonesia Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat pengaruh pelayanan kunjungan pastoral terhadap pertumbuhan rohani jemaat yang ditunjukkan melalui koefisien korelasi sebesar 0,340 yang signifikan pada α = 0,05. Pelayanan kunjungan pastoral akan mendekatkan gembala dengan jemaat yang dilayaninya, membuat pelayanan penggembalaan menjadi efektif, sehingga berdampak pada pertumbuhan rohani jemaat. Murni SitanggangJuantini JuantiniMurni Hermawaty Sitanggang & Juantini, Self-Image According to Genesis 126-27, The Application for Youth Stewards The Indonesian Pentecostal Church Hebron-Malang. The right understanding about self-image as written in Genesis 126-27 will affect someone’s way of life. This research tries to prove that with focused on to the Youth Stewards at The Indonesian Pentecostal Church Hebron-Malang. The research used a qualitative method with a descriptive and exegetical approach. The result is most of the ministers do not have the right self-image as Genesis 126-27 said yet. From the religious side, their self-image is low with 36,5% score, and from the psychological side they score 45,9% and then from the social side the result is 55,5%. Murni Hermawaty Sitanggang & Juantini, Citra Diri Menurut Kejadian 126-27, dan Aplikasinya bagi Pengurus Pemuda Remaja GPdI Hebron-Malang. Pengertian yang benar tentang citra diri manusia sebagaimana tertulis dalam Kejadian 126-27 akan mempengaruhi cara hidup seseorang. Penelitian ini berusaha membuktikan hal tersebut dengan memfokuskan sasaran penelitian kepada pengurus pemuda remaja GPdI yang dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan eksegesis. Dari hasil penelitian kemudian didapat bahwa sebagian pengurus belum sepenuhnya memiliki citra diri yang dimaksudkan dalam Kejadian 126-27. Dari segi rohani, citra diri mereka rendah dengan persentase 36,5%, kemudian dari segi psikologi persentase yang didapatadalah 45,9% dan dari segi sosial hasilnya adalah 55,5%. I Putu Ayub DarmawanMake Disciples The Duty of Church Discipleship According to Matthew 28 18-20. This article discusses the task of church discipleship according to Matthew 28 18-20. The author conducted a literature study to understand the intent of Matthew 28 18-20 and to carry out the construction of the task of discipleship in the church. The task of discipleship, Jesus addressed his disciples, then proceeded to their successors who lived in a community of faith to carry out the task of discipleship. In the task of discipleship, the community of faith in a church as an institution takes action to proclaim the good news so that every nation can be part of a community of faith in Jesus Christ. In discipleship, everyone who enters the community of faith in Christ is accepted without distinction, because this task is a multicultural task. Teaching is an important part of the discipleship task. Teaching is done in order to strengthen new believers or new students enter the community of faith in Jesus, then they become disciples of the Lord Jesus who can be sent to disciple others. Jadikanlah Murid Tugas Pemuridan Gereja Menurut Matius 2818-20. Artikel ini membahas tentang tugas pemuridan gereja menurut Matius 2818-20. Penulis melakukan studi pustaka untuk memahami maksud Matius 2818-20 dan melakukan konstruksi tugas pemuridan gereja. Tugas pemuridan, Yesus tujukan kepada para murid-murid-Nya, kemudian dilanjutkan oleh pada penerus mereka yang hidup dalam sebuah komunitas iman untuk menjalankan tugas pemuridan tersebut. Dalam tugas pemuridan, komunitas iman dalam sebuah gereja sebagai suatu institusi melakukan tindakan pergi untuk mewartakan kabar baik sehingga setiap bangsa dapat menjadi bagian dari komunitas iman pada Yesus Kristus. Dalam pemuridan, setiap orang yang masuk dalam komunitas iman pada Kristus, diterima dengan tanpa membedakan mereka, sebab tugas ini adalah tugas yang multikultural. Pengajaran merupakan bagian penting dalam tugas pemuridan. Pengajaran dilakukan agar dapat memantapkan orang-orang yang baru percaya atau murid-murid baru masuk ke dalam komunitas iman pada Yesus, kemudian mereka menjadi murid Tuhan Yesus yang dapat diutus untuk memuridkan orang Harmadi Ruat DianaFenomena kekerasan dalam berpacaran bukan hanya terjadi di ruang tertutup atau pribadi saja melainkan sangat mudah ditemukan di ruang publik seperti halaman sekolah, tempat rental komputer, taman, trotoar, kendaraan umum, pada penumpang kendaraan roda dua di tengah lalu lintas. Dan ketika peristiwa itu berlangsung serta disaksikan oleh masyarakat umum, pelaku dan korban tidak merasa terganggu, rikuh, malu, atau berhenti. Padahal kekerasan dalam pacaran di kalangan remaja merupakan salah satu akses kepada kekerasan dalam rumah tangga, apabila hal ini tidak ditangani secara benar sebelum berkelanjutan dengan korban yang mengalami dampak pada fisik, psikis, sosial, moral, ekonomi dan masa depan generasi penerus. Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan mengkaji fenomena kekerasan dalam pacaran dari sudut pandang Alkitab dan psikologi, dimana secara psikologis kekerasan seksual yang terjadi pada masa remaja berdampak negatif bagi pelaku maupun korban kekerasan seksual. Adapun kekerasan pada masa berpacaran dapat disebabkan karena remaja mengalami loncatan akibat gejolak hormon dan pesatnya teknologi informasi. Secara teologis hubungan seks sebelum menikah adalah tindakan merusak kehidupan para pelakunya dan kekerasan pada masa berpacaran merupakan tindakan yang bertentangan dengan konsep imago dei. The phenomenon of dating violence does not only occur in closed or private spaces but is very easy to find in public spaces such as school yards, computer rental places, parks, sidewalks, public transportation, on two-wheeled vehicle passengers in the middle of traffic. And when the event took place and was witnessed by the general public, the perpetrators and victims did not feel disturbed, uncomfortable, embarrassed, or stopped. Whereas violence in courtship among adolescents is one access to domestic violence, if this is not handled properly before it is sustained with victims who have an impact on the physical, psychological, social, moral, economic and future generations. The method used is descriptive research by examining the phenomenon of dating violence from the perspective of the Bible and psychology, where psychologically sexual violence that occurs during adolescence has a negative impact on perpetrators and victims of sexual violence. The violence during dating can be caused by adolescents experiencing jumps due to hormone fluctuations and rapid information technology. Theologically sex before marriage is an act of destroying the lives of the perpetrators and violence during dating is an action that is contrary to the concept of Imago dei. Daniel Fajar PanuntunEunike ParamitaABSTRAKFenomena radikalisme merupakan suatu fenomena yang perlu mendapatkan perhatian serius di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut pemahaman nilai-nilai kebangsaan yang berdasarakan pancasila harus terus disosialisasikan kepada seluruh warga Indonesia. Agama Kristen juga harus aktif dalam mengajarkan pemahaman nilai-nilai kebangsaan. Salah satu peran aktif adalah melalui pemuridan kontekstual/KTBK yang didalamnya terdapat Pembelajaran Alkitab yang kontinu. Melalui penelitian ini diharapkan diketahui hubungan antara pembelajaran Alkitab dalam pemuridan kontekstual terhadap pemahaman nilai-nilai hidup dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan purposive sampling kepada mahasiwa aktif pelaku KTBK di Surakarta. Data yang didapatkan dianalisis dengan uji korelasi tunggal dan uji regresi tunggal. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah bahwa pembelajaran Alkitab dalam pemuridan kontekstual/KTBK memiliki hubungan positif dan berpengaruh signifikan dengan koefisien Y= 25,17 + 0,522x. Kata kunci Pemuridan, Kontekstual, Yesus, Alkitab, KebangsaanWilianus IlluOlivia MasihoruFree Sex dan hamil pranikah menjadi potret buram kehidupan remaja saat ini di Indonesia. Seks bebas free sex, hamil di luar nikah, aborsi, perkosaan, pelecehan seksual, peredaran VCD porno, pornografi, dan pornoaksi merajalela di kalangan remaja saat ini. Hal ini pada satu sisi dapat merisaukan public pada umumnya, misalnya merisaukan lingkungan masyarakat, dunia pendidikan keluarga, sekolah bahkan pendidikan di gereja. Akan tetapi pada aspek lain terdapat orang-orang yang memiliki dorongan yang berangkat dari hati nuraninya sehingga memiliki kepedulian dan keberpihakan terhadap para remaja yang melakukan hubungan free sex. Tipikal yang demikian memiliki inisiatif sendiri untuk menolong orang-orang yang mengalami dan khususnya bagi remaja. Biasanya perihal yang dilakukan adalah berinisiasi untuk mengumpulkan mereka dan menyampaikan materi-materi yang berkaitan dengan free sex agar mengurangi lajunya pergerakan yang semakin dinamis dalam realiata yang ada. Pada umumnya Etika Kristen tidak membenarkan tentang hubungan seks bebas atau free sex, baik yang dilakukan oleh oknum-oknum yang berkeluarga, orang dewasa dalam hal ini yang belum menikah, ataupun oleh pemuda-pemudi bahkan remaja-remaja. Upaya Kristen dalam menangani kasus-kasus yang terjadi pada remaja tentu mengacu pada beberapa pola yang sesuai standar Alkitab. Pola-pola yang penulis maksudkan adalah upaya melalui tinjauan Alkitab tentang seksualitas, melalui pendidikan gereja, melalui pendidikan keluarga, sekolah, melalui pendekatan kontribusi terhadap budaya, masyarakat, dan melalui kontribusi terhadap pemerintah setempat. Supaya elemen-elemen tersebut saling interdepedensi dalam mengatasi free sex yang belakangan ini marak terjadi di kalangan para remaja di Indonesia. Metode yang digunakan dalam kajian jurnal ini adalah metode deskiptif dengan pendekatan literatur dan fakta data sesuai yang berkorelasi dengan judul utama dan sub-sub judul. Hasil yang ditemukan dalam kajian ini mencakup peran gereja tidak terbatas pada internal gereja melainkan berperan akif juga di luar gereja khususnya peran dalam mengantisipasi lajunya free sex yang TafonaoTalizaro Tafonao, The Role of Pastors In Teaching And Motivating To Serve Against Youth Spiritual Growth. One important indicator that must be known by young people is to understand the duty of the pastor as a teacher and a motivator. Through this paper, researchers describe the duties of a pastor in teaching and motivating young people to engage in ministry. In finding the answers of this study, researchers used quantitative research methods with descriptive research type. After conducted field research and data processing using SPSS 19 program with the result are First, Based on correlation analysis r Spearmen model, then obtained correlation analysis results that there is correlation between the influence of the role of pastor in teaching with spiritual growth of youth GKII Shalom Kalasan of Second, Based on correlation analysis results r Spearmen model, then obtained correlation analysis results that there is a correlation between the influence of the role of pastor in teaching with spiritual growth of GKII Shalom Kalasan youth by Third, Based on correlation analysis result r Spearmen model, then obtained correlation analysis result that there is correlation between influence of role of pastor in teaching and motivating youth to serve with spiritual growth of GKII Shalom Kalasan youth equal to 0,526. The hypothesis in this research is that there is influence of the role of pastor in teaching and motivating young people to serve the spiritual growth of GKII youth Shalom Kalasan. Based on the above analysis, the hypothesis is Tafonao. Peran Gembala Sidang Dalam Mengajar Dan Memotivasi Untuk Melayani Terhadap Pertumbuhan Rohani Pemuda. Salah satu indikator penting yang harus diketahui oleh kaum muda adalah memahami tugas gembala sidang sebagai pengajar dan motivator. Melalui tulisan ini peneliti mendreskripsi tugas seorang gembala sidang dalam mengajar dan memotivasi kaum muda untuk terlibat dalam pelayanan. Dalam menemukan jawaban penelitian ini maka peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Setelah dilakukan penelitian lapangan serta pengolahan data dengan menggunakan program SPSS 19 dengan hasil adalah Pertama, Berdasarkan hasil analisis korelasi r model Spearmen, maka diperoleh hasil analisis korelasi bahwa ada korelasi antara pengaruh peran gembala sidang dalam mengajar dengan pertumbuhan rohani pemuda GKII Shalom Kalasan sebesar 0,461. Kedua, Berdasarkan hasil analisis korelasi r model Spearmen, maka diperoleh hasil analisis korelasi bahwa ada korelasi antara pengaruh peran gembala sidang dalam mengajar dengan pertumbuhan rohani pemuda GKII Shalom Kalasan sebesar 0,619. Ketiga, Ketiga, Berdasarkan hasil analisis korelasi r model Spearmen, maka diperoleh hasil analisis korelasi bahwa ada korelasi antara pengaruh peran gembala sidang dalam mengajar dan memotivasi kaum muda untuk melayani dengan pertumbuhan rohani pemuda GKII Shalom Kalasan sebesar 0,526. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh peran gembala sidang dalam mengajar dan memotivasi kaum muda untuk melayani terhadap pertumbuhan rohani kaum muda GKII Shalom Kalasan. Berdasarkan analisis di atas, hipotesis tersebut diterima. Fibry Jati NugrohoFibry Jati Nugroho, Pastoral Assistance Holistic A Proposed Conceptual Development Residents Church. A strong church is formed of a strong congregation. Strong congregation obtained from the pastoral care that actively touches the whole life of the churches. The Church should strive to develop a holistic pastoral care to the congregation. Various programs designed to be used to achieve a holistic pastoral care. Multiculture congregation accompanied by multiproblem, requiring pastoral agents set the strategy and create a model to be able to provide a holistic pastoral care services to the citizens of his church. The concept of holistic pastoral care of Howard Clinebell and Totok Wiryasaputra will help create a framework to analyze the development of church people holistically. The theoretical framework will be integrated with pastoral models developed by David Yonggi Cho's Yoido Full Gospel Church. The concept and model of pastoral care holistic support each other as well as a "scalpel" of pastoral care that is geared towards the empowerment of the laity effectiveness and small groups methods. ABSTRAK Fibry Jati Nugroho,Pendampingan Pastoral HolistikSebuah Usulan Konseptual Pembinaan Warga Gereja. Gereja yang kuat terbentuk dari jemaat yang kuat. Jemaat yang kuat didapat dari pendampingan pastoral yang secara aktif menyentuh keseluruhan kehidupan warga gerejanya. Gereja perlu berusaha mengembangkan pendampingan pastoral holistik kepada jemaatnya. Berbagai program yang dirancang digunakan untuk mencapai sebuah pendampingan pastoral holistik. Jemaat yang multikultur disertai dengan multiproblem, mengharuskan para pelaku pastoral mengatur strategi dan menyusun model untuk dapat memberikan pelayanan pendampingan pastoral holistik kepada warga gerejanya. Konsep pendampingan pastoral holistik dari Howard Clinebell dan Totok Wiryasaputra akan membantu menganalisis dalam kerangka membuat pembinaan warga gereja secara holistik. Kerangka teoretis tersebut akan dipadukan dengan model pastoral yang dikembangkan oleh David Yonggi Cho di Yoido Full Gospel Church. Konsep dan model pendampingan pastoral holistik saling menopang serta menjadi pisau bedah dari pendampingan pastoral yang bermuara kepada efektifitas pemberdayaan kaum awam dan metode kelompok kecil.
Kasus hubungan seksual pra nikah sangat marak terjadi dikalangan para remaja saat ini sehingga menyebabkan banyak remaja hamil diluar nikah larena keterlibatan dalam pergaulan yang mereka alami banuak faktor yang enkadikan mereka tidak diterima dilalangan lingkungan sosial sehingga gangguan psilologis remaja hamil di luar nikah terhanggu menkadilan mereka stress. Konselor perlu merumuskan barbagai macam strategi pendekatan pelayanan konseling pastoral bagi remaja hamil di luar nikah. Tujuan penulisan ini bertujian untuk menhasilkan suatu strategi pelayanan konselong bagi remaja hamil diluar nikah. Strategi pelayanan konselinh pastoral ada dua yaitu pertama, strategi pelayanan client-centered dan strategi pelayanan konseling Alkitabiah To read the file of this research, you can request a copy directly from the has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication.